بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang adab berkunjung dan berziarah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Pengantar :

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan tentang seorang yang pergi bersafar untuk mengunjungi saudaranya di tempat lain, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang malaikat untuk menemuinya di jalan. Malaikat itu bertanya kepadanya, “Ke mana engkau hendak pergi?” Ia menjawab, “Aku hendak menemui saudaraku di tempat ini.” Malaikat itu bertanya kembali, “Apakah engkau memiliki sesuatu yang menguntungkanmu darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Sebenarnya aku mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.” Malaikat itu berkata, “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk memberitahukan, bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena-Nya.” (Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim)

Dalam hadits ini terdapat dalil keutamaan menjenguk saudara kita karena Allah Azza wa Jalla.

A. Adab Berkunjung

Masing-masing kunjungan ada adab-adabnya tersendiri, sebagaimana diterangkan di bawah ini :

1. Kunjungan Tahni’ah (untuk mengucapkan selamat), seperti ada kabar saudaranya memperoleh kebaikan, menikah, anaknya lahir, mendapatkan kesuksesan, mendapatkan keuntungan, selamat dari bahaya, pulang dari safar yang panjang dsb.

Adabnya adalah menampakkan kegembiraan, menyalaminya, dan mengucapkan selamat.

Dalam Shahih Bukhari diterangkan, bahwa ketika Allah menerima taubat seorang sahabat yang mulia, yaitu Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dua kawannya, yaitu Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhuma; ketika mereka tidak ikut berangkat bersama kaum muslimin untuk memerangi Romawi dalam perang Tabuk tanpa ada udzur, lalu turun ayat Al Qur’an yang menerangkan diterimanya taubat mereka, maka salah seorang dari kaum muslimin bergegas mendatangi Ka’ab untuk memberikan kabar gembira kepadanya seraya memanggilnya dengan kata-kata, “Wahai Ka’ab! Bergembiralah.” Lalu Ka’ab pun pergi ke masjid yang ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalamnya, maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu bergegas mendatanginya, menyalaminya, dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat dirinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ketika Ka’ab sampai di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, “Bergembiralah dengan hari terbaik yang kamu lalui sejak engkau dilahirkan oleh ibumu.”

Adab lainnya adalah memberikan hadiah jika memungkinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَهَادَوْا تَحَابَّوْا

“Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Abu Ya’la, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 3004)

Ucapan Selamat ketika Saudaranya memperoleh Anak

Jika saudaranya memperoleh anak, maka ia mendoakan kebaikan dan keberkahan untuknya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dianjurkan mengucapkan selamat kepada orang yang mendapatkan anak. Kawan-kawan kami (yang semadzhab) berkata, “Dianjurkan mengucapkan selamat sebagaimana diriwayatkan dari Al Hasan (Al Bashri) radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mengajarkan ucapan selamat kepada seseorang, ia berkata, “Ucapkanlah,

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ

“Semoga Allah memberikan berkah pada anak yang diberikan kepadamu, engkau menjadi orang yang pandai bersyukur kepada Allah yang telah memberikannya, anakmu mencapai usia dewasa dan engkau diberi kebaikannya.”

Dan dianjurkan membalas orang yang mengucapkan selamat itu dengan mengatakan, “Barakallahu laka wa baaraka ‘alaika’ (artinya: semoga Allah memberikahimu dan melimpahkan kebahagiaan untukmu), “Jazaakallahu  khaira” (artinya: semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), razaqakallahu mitslah (artinya: semoga Allah mengaruniakan pula kepadamu), atau “Azjalallahu tsawabak” (artinya: semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak), dan sebagainya.” (Al Adzkar 1/469 cet. Ibnu Hazm)

Atau boleh juga mengucapkan “Anbatahullah nabaatan hasana,” (artinya: semoga Allah membesarkannya dengan mendapatkan pendidikan yang baik).

Ucapan selamat ketika saudaranya menikah

Jika saudaranya menikah, maka ucapan selamat kepadanya adalah dengan mengucapkan,

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْكَمُاَ فِيْ خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahimu dan melimpahkan keberkahan bagimu, serta mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan.” (HR. Para penyusun kitab Sunan selain Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani).

Ucapan Selamat ketika telah melunasi Hutang

Dari Abdullah bin Abi Rabi’ah ia berkata, “Nabi shallallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam kepadaku 40.000 (dirham), lalu ketika Beliau memperoleh harta, maka Beliau membayar hutang itu kepadaku dan mengatakan,

«بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، إِنَّمَا جَزَاءُ السَّلَفِ الْحَمْدُ وَالْأَدَاءُ»

“Semoga Allah memberikan berkah kepada keluargamu dan hartamu, sesungguhnya balasan terhadap pinjaman adalah pujian dan pelunasan.” (HR. Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani)

Ucapan Selamat ketika saudaranya memakai pakaian baru

Abu Nadhrah berkata, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada yang mengenakan pakaian baru, maka didoakan kepadanya,

تُبْلَى وَيُخْلِفُ اللَّهُ تَعَالَى

artinya: Semoga bajunya awet hingga usang, dan semoga Allah Ta’ala menggantinya. (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Dari Ibnu Umar radhiyllahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Umar memakai gamis yang putih, lalu Beliau bertanya, “Bajumu ini baru dicuci atau baru?” Umar menjawab, “Baru dicuci.” Beliau bersabda,

اِلْبَسْ جَدِيدًا وَعِشْ حَمِيدًا وَمُتْ شَهِيدًا

artinya: Pakailah baju baru, hiduplah secara terhormat, dan matilah sebagai syahid.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnus Sunniy, dishahihkan oleh Al Albani)

Ucapan selamat pada Hari Raya

Muhammad bin Ziyad berkata, “Aku bersama Abu Umamah Al Bahiliy dan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain; mereka ketika pulang, satu sama lain mengucapkan “Taqabbalallahu minnaa wa minkum.”

Imam Ahmad berkata, “Isnadnya jayyid.” (Lihat Al Jauharun Naqiy 3/320)

2. Kunjungan Ta’ziyah (menghibur orang yang  mendapat musibah)

Saat Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu gugur sebagai syahid, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan berita tentang kematiannya, maka Beliau datang ke rumah Ja’far, mendatangi anak-anaknya yang masih kecil dan mencium mereka, lalu Asma istri Ja’far bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mendapatkan berita tentang Ja’far?” Beliau menjawab, “Ya. Pada hari ini ia terbunuh.” Maka istrinya bangun dan menangis, kemudian Beliau menghiburnya dan pulang ke rumah, serta bersabda kepada para sahabat,

اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena ia sedang tertimpa sesuatu yang menyibukkan mereka.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani)

Adab Ta’ziyah

Dalam berta’ziyah ada beberapa adab yang perlu diperhatikan, di antaranya:

a. Bersegera

Maksudnya ketika seseorang mengetahui ada salah seorang kerabatnya, tetangganya, atau temannya yang wafat, maka hendaknya ia segera mengunjungi keluarganya untuk menghibur mereka dan ikut serta mengurus dan mengiringi jenazahnya sebagai bentuk pengamalan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَعِيَادَةُ المَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ العَاطِسِ

“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu: menjawab salam, menjenguk orang yang sakit, mengiringi jenazahnya, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

b. Tidak telat hingga melewati tiga hari

Jika ada hal lain yang membuatnya tidak dapat bersegera untuk berta’ziyah, maka sepatutnya tidak melebihi tiga hari, dan tidak cukup hanya lewat sms kecuali dalam kondisi darurat.

c. Membuatkan makanan untuknya

Dianjurkan bagi kerabat, kawan, atau tetangga membuatkan makanan untuk keluarga yang medapatkan musibah, karena mereka di tengah kesibukan dan kesedihan yang membuat mereka tidak sempat menyiapkannya. Hal ini berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya.

Oleh karena itu, jangan sampai keluarga yang mendapatkan musibah malah sibuk membuatkan makanan untuk para penta’ziyah, ini adalah keliru.

d. Keluarga mayit tidak perlu menunggu di tenda untuk menyambut kedatangan para penta’ziyah

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum melakukan ta’ziyah kepada keluarga mayit saat mengantarkan jenazah di kuburan, ketika bertemu di jalan, atau di masjid. Namun tidak mengapa pergi mendatangi keluarga mayit di rumahnya untuk menghibur mereka, tentunya dengan memperhatikan adab-adabnya dan menjauhi perbuatan yang tidak pantas dilakukan seperti merokok, bercanda, berbicara yang tidak ada manfaatnya, bahkan pembicaraannya hendaknya berisi kesabaran, hiburan bagi hatinya, dsb.

Ucapan ketika Ta’ziyah

Ketika ta’ziyah, maka ucapan yang disampaikan seputar kesabaran dan untuk menghibur hati orang yang mendapatkan musibah. Misalnya seorang yang berta’ziyah mengucapkan kepada orang yang mendapatkan musibah, “Al Baqa’ lillah” (artinya: Kekekalan hanya milik Allah), atau “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un” (artinya: sesungguhnya kita hanya milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali), atau “Azhzhamallahu ajrak,” (artinya: semoga Allah memperbesar pahalamu), atau “Inna lillahi maa akhadza wa lahu maa a’thaa wa kullu sya’in ‘indahu bi ajalin musamma fal tashbir wal tahtasib” (artinya: sesungguhnya milik Allah apa yang diambil-Nya, milik-Nya apa yang diberikan-Nya. Semua telah ditentukan ajalnya di sisi-Nya, maka hendaklah engkau bersabar dan mengharapkan pahala).

Adapun orang yang mendapatkan musibah, maka ia mengaminkan dan mendoakan orang yang berta’ziyah kepadanya seperti mengucapkan, “Aajarakallah,” (artinya: semoga Allah memberimu pahala).

Demikianlah contoh cara berta’ziyah.

Tidak mengadakan acara tertentu setelah kematian

Seorang muslim menjauhi perbuatan yang diada-adakan dalam perkara ini, seperti memasang tenda dan mengadakan acara selamatan, tujuh hari, empat puluh hari, haul (setahun), dan seterusnya, karena ini semua bukan dari ajaran Islam.

Dari Jarir bin Abdullah Al Bajalliy radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami memandang, bahwa berkumpul-kumpul pada keluarga mayit dan membuatkan makanan (untuk para penta’ziyah) termasuk meratap.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani).

3. Menjenguk Orang Sakit

Suatu ketika Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu sakit parah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya. Ketika itu, Sa’ad merasa akan tiba ajalnya, sedangkan dirinya hanya memiliki seorang anak perempuan, lalu ia ingin berwasiat untuk menyedekahkan dua pertiga hartanya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak setuju terhadapnya, Sa’ad pun berniat untuk berwasiat dengan separuh hartanya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak setuju terhadapnya, maka Sa’ad ingin berwasiat dengan sepertiga hartanya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya dan menerangkan, bahwa sepertiga itu sudah banyak, lalu Beliau meletakkan tangannya di dahinya, kemudian Beliau mengusapkan tangannya ke wajah dan perut Sa’ad sambil berdoa, “Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad,” (sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim).

Menjenguk orang sakit berpahala besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ زَارَ أَخًا لَهُ فِي اللَّهِ نَادَاهُ مُنَادٍ أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الجَنَّةِ مَنْزِلًا

“Barang siapa yang menjenguk orang yang sakit atau menjenguk saudaranya karena Allah, maka ada seruan (di langit) untuknya, “Engkau akan bahagia, perjalananmu baik, dan engkau telah mengambil tempat (yang tinggi) di surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)

«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُودُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الجَنَّةِ»

“Tidak ada seorang muslim yang menjenguk muslim lainnya yang sakit di pagi hari, melainkan akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga sore hari. Dan jika ia menjenguknya di sore hari, maka akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat hingga pagi hari. Dan ia akan memperoleh buah-buahan yang dipetik dari surga.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Dalam menjenguk orang sakit ada adab-adab yang perlu diperhatikan, di antaranya:

a. Mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala.

b. Mencari waktu yang tepat dan dalam kondisi yang membolehkan dijenguk.

c. Mendoakan kesembuhan, dan membuatnya optimis serta memberikan kabar gembira kesembuhan.

Contoh mendoakan kesembuhan adalah dengan mengucapkan,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah Rabb manusia, hilangkanlah penyakit yang dideritanya. Sembuhkanlah dia, Engkaulah yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan dari-Mu tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Bukhari dan Muslim).

d. Tidak terlalu lama menjenguk

Dalam menjenguk hendaknya tidak terlalu lama sambil bersikap tenang dan tidak terlalu banyak bicara.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net), Maktabah Syamilah versi 3.45, Tuhfatul Ahwadziy (Abul Alaa Al Mubarakfuri), dll.