Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut kami sajikan pembahasan tentang Adab Terhadap Pemerintah yang kami simpulkan dari kitab Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah karya Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah dan kitab lainnya, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Tamhid (Pengantar)

Ketahuilah, bahwa mendengar dan taat kepada pemerintah muslim bukan dalam hal maksiat termasuk prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah meskipun mereka melakukan kezaliman. Yang demikian adalah, karena dengan mendengar dan menaati mereka, maka maslahat agama dan dunia akan tegak. Dan sudah menjadi maklum, bahwa tidak akan tegak agama tanpa ada jamaah, dan tidak akan tegak jamaah tanpa ada pemerintah, dan tidak ada pemerintah jika tidak didengar dan ditaati (Sebagaimana yang dinyatakan Umar bin Khaththab yang diriwayatkan oleh Darimiy 1/315, namun dalam isnadnya ada cacatnya).

Al Hasan Al Basri rahimahullah berkata tentang Umara (pemerintah), “Mereka memimpin kita dalam lima hal; shalat Jum’at, shalat Jama’ah, hari raya, menjaga perbatasan, dan menegakkan hukuman hudud. Demi Allah, agama tidak akan tegak tanpa mereka meskipun mereka zalim. Demi Allah, masalah yang diperbaiki Allah melalui mereka masih lebih banyak daripada yang mereka rusak. Demi Allah, menaati mereka adalah sebuah kegembiraan, sedangkan menyelisihi mereka adalah sebuah kekufuran.” (Adab Al Hasan Al Basri oleh Ibnul Jauzi hal. 121).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Para imam dari setiap madzhab sepakat, bahwa barang siapa yang berkuasa terhadap sebuah negeri atau beberapa negeri, bahwa orang tersebut dianggap sebagai imam (pemerintah) dalam semua urusan. Karena jika tidak demikian, maka dunia tidak akan lurus, karena keadaan manusia sejak zaman dahulu –sejak zaman Imam Ahmad sampai sekarang- tidaklah berkumpul di bawah satu imam (khalifah) saja, dan tidak diketahui adanya ulama yang mengatakan bahwa keputusan imam setempat itu tidak sah tanpa ada imam a’zham (penguasa besar/khalifah).” (Ad Durar As Sunniyyah 7/239). 

Adab Terhadap Pemerintah

Ada beberapa adab terhadap pemerintah yang perlu diketahui dan diamalkan oleh seorang muslim, di antaranya:

  1. Menaati mereka, tentunya bukan dalam hal maksiat.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. “ (QS. An Nisaa’: 59)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»

“Mendengar dan taat (kepada pemerintah) wajib bagi seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci selama tidak diperintahkan berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada lagi sikap mendengar dan taat.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)

  1. Tidak memberontak atau terang-terangan mendurhakai mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

“Barang siapa yang tidak suka salah satu sikap pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar, karena barang siapa yang keluar dari kepemimpinan meskipun sejengkal, maka ia akan mati ala jahiliyyah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al Khallal dalam As Sunnah hal. 133 dan Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah (1/195, 196) menyebutkan, bahwa pada masa pemerintahan Al Watsiq, para fuqaha Baghdad berkumpul di hadapan Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya masalah ini (menyatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluk) dan masalah lainnya (yang bertentangan dengan akidah Islam) sudah semakin parah dan menyebar, dan kami tidak ridha dengan pemerintahan dan kepemimpinannya. Lalu Imam Ahmad berdiskusi dengan mereka, kemudian ia berkata, “Kalian wajib mengingkarinya dengan hati kalian dan jangan mencabut  ketaatan kepadanya. Jangan kalian patahkan tonggak (kesatuan) kaum muslimin dan jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Perhatikanlah akhir urusan kalian dan bersabarlah agar orang yang baik dapat beristirahat dan dapat lepas dari orang yang fasik.” Ia juga berkata, “Sikap ini (mencabut sikap taat kepada pemerintah) tidaklah benar. Hal ini menyelisihi atsar.”

  1. Berjihad dan shalat di belakang mereka meskipun mereka fasik dan melakukan perbuatan maksiat yang bukan kekafiran.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bertanya kepadanya tentang menaati para pemerintah yang buruk,

«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ»

“Dengarkanlah dan taatilah. Karena kewajiban mereka adalah yang mereka tanggung, dan kewajiban kalian adalah yang kalian tanggung.” (HR. Muslim)

Demikian juga berdasarkan perkataan Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik ketika kami semangat maupun tidak, baik ketika kami susah maupun lapang, dan agar kami tidak mencabut kepemimpinan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekafiran yang jelas dan kamu memiliki bukti yang nyata dari sisi Allah tentangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[i]

Imam Ahmad berkata tentang sikap Ahlus Sunnah terhadap pemerintah dalam kitabnya Ushuulus Sunnah,

"(Sikap kita) adalah mendengar dan taat kepada amirul mukminin yang baik maupun yang buruk serta orang yang memegang kepemimpinan, di mana orang-orang mau berkumpul di bawahnya serta ridha terhadapnya. Demikian juga kepada orang yang mengalahkan khalifah sebelumnya dengan pedang sehingga ia pun menjadi khalifah dan disebut Amirul mukminin.

Berperang tetap berlaku bersama pemerintah hingga hari kiamat, baik pemerintah yang baik maupun yang buruk dan tetap tidak ditinggalkan.

Pembagian fai' (harta rampasan tanpa melalui peperangan) dan menegakkan hudud juga diserahkan kepada para penguasa, tidak seorang pun berhak mencacati mereka dan menentang mereka.

Menyerahkan zakat kepada mereka juga boleh dan bisa dilakukan. Barang siapa sudah menyerahkan kepada mereka, maka sudah dianggap sah, baik pemerintahnya orang yang baik atau yang buruk.

Shalat Jum'at di belakangnya dan di belakang orang yang diangkatnya adalah boleh, tetap berlaku, sempurna, dan dua rakaat. Barang siapa yang mengulanginya, maka dia ahlul bid'ah, meninggalkan atsar dan menyalahi sunnah, dan tidak memperoleh sedikit pun keutamaan shalat Jum'at, karena ia menganggap tidak boleh shalat di belakang penguasa yang baik maupun yang jahat. Bahkan Sunnah menjelaskan tetap shalat bersama mereka dua rakaat dan meyakini bahwa ia telah sempurna, jangan ada keraguan dalam dadamu tentang hal itu.

Barang siapa yang keluar dari ketaatan kepada imam dari kalangan kaum muslimin, padahal orang-orang telah berkumpul di bawahnya, mengakui kekhalifahannya dengan cara bagaimana pun kepemimpinannya diperoleh -baik dengan cara yang diridhai maupun dengan cara mengalahkan-, maka sesungguhnya ia telah memecahkan tonggak kesatuan kaum muslimin, menyalahi atsar (hadits) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika ia meninggal di atas sikap seperti ini, maka ia meninggal dengan ala jahiliyyah.

Tidak halal memerangi penguasa dan memberontak kepadanya karena salah seorang pun di antara manusia. Barang siapa yang melakukannya, maka dia adalah pelaku bid'ah, tidak di atas sunnah dan jalan (yang lurus)."

Al Ghazaliy berkata, “Kalau kesulitan menemukan seorang yang wara’ dan berilmu untuk memegang kepemimpinan, lalu ada orang yang tidak mengerti hukum atau orang fasik yang merebutnya, sedangkan jika menjauhkan perhatian manusia daripadanya dapat menimbulkan fitnah yang sulit dipikul, maka kita putuskan untuk menganggap sah kepemimpinannya. Yang demikian adalah, karena jika kita gerakkan fitnah dengan mencari penggantinya, maka apa yang diterima kaum muslimin ketika proses penggantian berupa madharrat malah lebih besar di atas madharat yang diperoleh karena kekurangan syarat pada pemimpin yang ditetapkan karena maslahat. Oleh karena itu, tidak boleh pokok maslahat dirobohkan karena mementingkan yang unggulnya, seperti halnya membangun istana, namun kotanya dirobohkan. Demikian pula antara memutuskan untuk mengosongkan negeri dari pemimpin dan rusaknya keadaan,  ini tidak mungkin. Jika kita putuskan berlakunya pemerintahan penguasa zalim di negeri mereka karena dibutuhkan, maka bagaimana kita tidak memutuskan sahnya kepemimpinan ketika dibutuhkan dan dalam kondisi darurat?”    

  1. Mendoakan kebaikan untuk mereka.

Dalam kitab As Sunnah karya Imam Al Barbahari disebutkan, “Jika engkau melihat ada seseorang yang mendoakan keburukan terhadap pemerintah, maka ketahuilah, bahwa orang itu adalah pelaku bid’ah. Tetapi jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan bagi pemerintah, maka ketahuilah bahwa ia Ahlussunnah Insya Allah Ta’ala.”

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Kalau seandainya aku memiliki doa (mustajab), tentu akan aku berikan untuk pemerintah.”

Oleh karena itu, kita diperintahkan  mendoakan kebaikan untuk mereka dan tidak diperintahkan mendoakan keburukan atas mereka meskipun mereka zalim, karena kezaliman mereka akan menimpa diri mereka dan kaum muslimin.

Bersambung...

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Maraji’: Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam bin Barjas), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy),  Zhilaalul Jannah (M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45 dll.

 

[i] Berdasarkan hadits tersebut, maka tidak diperbolehkan memberontak kepada penguasa kecuali jika memenuhi dua syarat :

  1. Pemimpin tersebut jelas-jelas melakukan kekafiran dan ada dalil tentang kekafirannya.
  2. Tidak menimbulkan madharrat (bahaya) yang lebih besar.

Tentunya yang menimbang hal ini adalah ulama (lihat An Nisaa’ : 83).