Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut pembahasan lanjutan tentang Adab Terhadap Pemerintah yang kami simpulkan dari kitab Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah karya Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah dan kitab lainnya, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Adab Terhadap Pemerintah

     5. Mencari udzur untuk pemerintah.

Dahulu para ulama berkata, “Jika urusan pemerintah kalian baik, maka perbanyaklah memuji Allah Ta’ala dan bersyukur kepada-Nya. Tetapi jika yang kalian dapatkan adalah hal yang tidak kalian sukai, maka perhatikanlah hal yang membuat kalian berhak mendapatkan hal itu, yaitu kesalahan dan dosa kalian. Carilah udzur pemerintah karena banyaknya masalah baginya dan banyaknya beban pemerintahan yang harus dia urusi, ia mengadakan pendekatan kepada musuh, membuat ridha para wali, sedikitnya orang yang menasihati, banyaknya penyamaran dan banyaknya sikap tamak.” (Sirajul Muluk karya Ath Thrthusyi hal. 43)

Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata, “Mereka yang terkena fitnah (syubhat) tidak mengetahui, bahwa kebanyakan pemerintah Islam dari sejak zaman Yazid bin Mu’awiyah –selain Umar bin Abdul Aziz dan beberapa pemimpin dari Bani Umayyah yang dikehendaki Allah-  sebenarnya telah melakukan berbagai tindakan lancang, mengadakan masalah besar, pemberontakan,  dan pengrusakan di tengah-tengah kaum muslimin. Meskipun demikian, perjalanan para ulama ternama dan para pemimpin besar sangat maklum dan dikenal; mereka tidak mencabut ketaatan dalam hal yang Allah perintahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa syariat Islam dan kewajiban-kewajiban agama.”

Contoh dalam hal ini adalah di zaman pemerintahan Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafiy, pemerintahannya cukup masyhur dipenuhi kezaliman dan kekejaman; bahkan sampai mudah menumpahkan darah manusia dan melanggar hal-hal yang terhormat di sisi Allah. Ia juga sampai membunuh para pemimpin umat, seperti Sa’id bin Jubair dan mengepung Ibnuz Zubair padahal ia telah berlindung di tanah haram. Meskipun begitu, Ibnu Umar dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup di zaman Hajjaj tidak memberontak kepadanya dan tidak menolak menaatinya dalam hal yang dapat menegakkan Islam dan menyempurnakan keimanan. Demikian pula yang dilakukan para tabi’in pada zaman Al Hajjaj, seperti Ibnul Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim At Taimiy, dan para pemimpin umat lainnya yang sama dengan mereka; mereka tidak memberontak terhadap pemerintah. Sikap seperti ini terus dilakukan oleh ulama dan para pemimpin umat ini; mereka menyuruh manusia menaati Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berjihad di jalan-Nya bersama pemerintah baik ia saleh maupun zalim sebagaimana hal ini sudah masyhur dalam kitab-kitab Ushuluddin dan Akidah.

Demikian pula pada masa pemerintahan Abbasiyyah, dimana salah seorang pun dari Ahli Ilmu tidak ada yang mendukung sikap mereka; mereka banyak melakukan pembunuhan, bahkan membunuh banyak orang dari kalangan Bani Umayyah, baik pemerintahnya maupun wakil-wakilnya, mereka juga membunuh Ibnu Hubairah gubernur Irak dan melakukan kerusakan lainnya, tetapi jalan yang ditempuh para imam seperti Al Auza’i, Malik, Az Zuhri, Al Laits bin Sa’ad, Atha bin Abi Rabaah terhadap para pemerintah yang zalim itu tidaklah menyikapinya dengan melakukan pemberontakan.

Lihat pula generasi kedua dari kalangan ulama, seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ismail, Hamd bin Idris, Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih, dan saudara-saudara mereka, padahal pemerintah di zaman mereka melakukan banyak kebid’ahan yang besar, mengingkari sifat-sifat Allah, dan menyeru kepada hal terebut, bahkan para ulama diuji ketika itu, di antara mereka ada yang dibunuh seperti Ahmad bin Nashr, tetapi tidak diketahui adanya sikap memberontak dan mencabut ketaatan dari para ulama itu. (Lihat Ad Durar As Sunniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 7/177-178).

Cara menasihati Pemerintah

Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap pemerintah berada pada posisi tengah-tengah antara Khawarij yang membolehkan memberontak kepada pemerintah ketika melakukan kemungkaran, dan antara Rafidhah yang menganggap ma’shum pemerintah. Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada Ahlussunnah dengan tetap menyuruh beramar ma’ruf dan bernahi munkar namun dengan cara yang baik, sebagaimana Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam menasihati dengan cara yang lembut kepada Fir’aun (lihat QS. Thaahaa: 44).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّي الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barang siapa yang hendak menasihati pemerintah, maka jangan lakukan secara terang-terangan. Tetapi, hendaknya ia pegang tangannya lalu berduaan dengannya. Jika ia menerima, maka itulah (yang diharapkan). jika tidak, maka ia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan lighairih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad, dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Zhilalul Jannah fii Takhrijis Sunnah 2/521-522).

«مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ»

“Barang siapa yang menghina pemerintah yang diberikan Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika membicarakan raja adalah ghibah, atau menasihatinya secara terang-terangan, dan mengumumkan cacatnya termasuk menghinanya yang Allah mengancam akan menghinakannya, maka tidak diragukan lagi perlunya diperhatikan –yakni menasihati secara sembunyi-sembunyi dsb.- bagi orang yang bisa menasihati mereka dari kalangan ulama yang biasa bergaul dengan mereka, dimana para pemimpin biasa mengambil manfaat dari mereka; bukan selain mereka...dst.” Beliau juga berkata, “Sesungguhnya menyelisihi pemerintah dengan cara terang-terangan yang bukan termasuk masalah dharuri dalam agama ini dan mengingkarinya dalam beberapa pertemuan, di masjid-masjid, di surat kabar, tempat-tempat nasihat, dan lain sebagainya bukan termasuk bagian nasihat sedikit pun. Oleh karena itu, jangan kamu tertipu oleh orang yang melakukannya meskipun niatnya baik, karena hal itu menyelisihi praktek kaum salafus shalih yang diikuti jejaknya, semoga Allah memberimu petunjuk.” (Maqashidul Islam hal. 393).

Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai rakyat! Kalian memiliki kewajiban, yaitu menasihati secara rahasia dan membantu dalam hal yang baik....dst.” (Diriwayatkan oleh Hanaad bin As Sirriy dalam Az Zuhd).

Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah berkata, “Dan tidak ada seorang yang mengingkari sikap pemerintah kecuali dengan cara menasihati, menakut-nakuti dan memperingatkannya terhadap akibat yang diperoleh di dunia dan di akhirat, karena itu wajib hukumnya, dan diharamkan dengan cara selain ini. Demikianlah yang disebutkan Al Qadhiy dan lainnya.” (Al Adabusy Syar’iyyah 1/195).

Ibnun Nuhhas dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin (hal. 64) berkata, “Hendaknya ia memilih tempat tersembunyi dalam menasihati pemerintah daripada di hadapan banyak manusia, bahkan disukai jika ia berbicara secara rahasia dan tersembunyi tanpa ada orang yang ketiga.”

Sesungguhnya manhaj Ahlussunnah adalah menyatukan manusia menaati pemerintah, berusaha menyebarkan kasih sayang antara rakyat dengan pemerintah, bersabar atas sikap pemerintah, mengingkari kemungkaran secara umum tanpa menentukan pelakunya, dan bersikap bijaksana lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf mengumumkan aib pemerintah dan menyebutkannya di atas mimbar, karena yang demikian dapat menimbulkan kekacauan, membuat manusia tidak mau mendengar dan taat kepada pemerintah dalam hal yang ma’ruf, serta dapat membawa kepada sikap menyelami hal yang membahayakan dan tidak bermanfaat. Cara yang diikuti di kalangan salaf adalah melakukan nasihat antara dia dengan pemerintah, menuliskan surat kepadanya, atau berkomunikasi dengan ulama yang dekat dengannya agar dapat membimbingnya kepada kebaikan. Demikian pula mengingkari kemungkaran dengan tanpa menyebutkan pelakunya, ia pun tetap mengingkari zina, khamr, dan riba, tanpa menyebutkan pelakunya. Sudah cukup mengingkari kemaksiatan dan memperingatkannya tanpa perlu menyebutkan bahwa si fulan yang melakukannya, baik pemerintah maupun selainnya. Oleh karenanya, ketika terjadi fitnah pada masa Utsman, maka sebagian manusia berkata kepada Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, “Mengapa engkau tidak mengingkari sikap Utsman?” Usamah berkata, “Apakah aku akan mengingkarinya di hadapan manusia? Aku hanya mengingkarinya sebatas antara aku dengannya, dan aku tidak akan membuka pintu keburukan di hadapan manusia.” Tetapi ketika mereka membuka pintu keburukan di zaman Utsman radhiyallahu ‘anhu, dan mengingkari Utsman secara terang-terangan, maka sempurnalah fitnah, peperangan, dan kerusakan dimana manusia mengikutinya terus sampai sekarang, sehingga terjadilah fitnah antara Mu’awiyah dengan Ali, terbunuhnya Utsman dan Ali karena sebab-sebab itu, bahkan sampai terbunuh para sahabat dalam jumlah besar dan lainnya karena sebab mengingkari secara terang-terangan dan menyebutkan aib secara terang-terangan yang membuat manusia membenci pemimpinnya dan sampai membunuhnya, kita memohon kepada Allah pemeliharaan-Nya.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz pada bagian akhir risalah Huququr Raa’i war ra’iyyah karya Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 27-28). 

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala aalihi wa shahbihi wa sallam

Marwan bin Musa

Maraji’: Mu’amalatul Hukkam fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Abdussalam bin Barjas), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza’iriy),  Zhilaalul Jannah (M. Nashiruddin Al Albani), Maktabah Syamilah versi 3.45 dll.