بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang menuntut ilmu syar’i (ilmu agama), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Pengantar

Suatu ketika Abu Rifa’ah radhiyallahu anhu datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berkhutbah, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang asing datang hendak bertanya tentang agamanya, ia tidak tahu seperti apa agamanya?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berhenti berkhutbah dan mendatanginya, kemudian disiapkan kursi yang kaki-kakinya terbuat dari besi, lalu Beliau duduk di atasnya dan mengajarkan ilmu kepada Abu Rifa’ah, kemudian kembali melanjutkan khutbahnya hingga selesai. (HR. Bukhari)

Demikianlah perhatian para sahabat terhadap ilmu dan tawadhunya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai guru.

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, maka Ibnu Abbas radhiyalahu anhuma bertanya kepada para sahabat tentang sabda dan sikap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap suatu masalah, dan setiap kali ia tahu di sana ada orang yang mengetahui hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia mendatanginya. Ia juga menghormati gurunya, oleh karenanya ketika ia mendapatkan gurunya sedang istirahat, maka ia duduk menunggu di depan rumahnya meskipun membuatnya terkena debu-debu yang diterbangkan angin hingga sahabat tersebut bangun. Saat sahabat itu keluar bertemu dengan Ibnu Abbas, maka ia berkata, “Wahai putera paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apa maksud kedatanganmu? Apa tidak engkau kirim orang kepadaku agar aku mendatangimu?” Ibnu Abbas berkata, “Tidak, bahkan aku lebih berhak mendatangimu agar aku dapat bertanya tentang hadits.” (Diriwayatkan oleh Hakim)

Keutamaan Ilmu Syar’i

Ilmu memiliki keutamaan yang agung dalam Islam, bahkan ayat yang pertama kali turun adalah ajakan untuk belajar yang sarananya adalah dengan membaca. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” (QS. Al-‘Alaq: 1)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga bersumpah dengan alat untuk menulis, yaitu pena. Dia berfirman,

ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ

“Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis,” (QS. Al-Qalam: 1)

As-Sunnah juga menguatkan kedudukan ilmu, sehingga menjadikan usaha mencari ilmu merupakan sebab masuk ke surga. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Bahkan pahala ilmu akan terus mengalir kepada pemiliknya meskipun ia telah wafat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga, yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).

Dari Shafwan bin Assal Al Muradiy ia berkata, “Aku pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat Beliau berada di masjid bersandar dengan burdahnya yang berwarna merah, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang untuk mencari ilmu.” Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَتَحُفُّهُ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ

“Selamat datang penuntut ilmu, sesungguhnya penuntut ilmu akan dikelilingi para malaikat dengan sayap-sayapnya, lalu sebagian mereka menaiki sebagian yang lain hingga sampai ke langit dunia karena senang kepada apa yang mereka cari.” (Al Haitsami dalam Al Majma’  berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir, dan para perawinya adalah perawi kitab Shahih.”)

Pembagian Ilmu

Ilmu terbagi dua; ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim mempelajarinya) dan ada pula ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib bagi sebagian kaum muslimin mempelajarinya; tidak setiap muslim).

Contoh ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu tentang mengenal Allah, mengenal agamanya, dan mengenal Nabinya shallallahu alaihi wa sallam, serta kewajiban-kewajiban agama yang menuntutnya diamalkan segera. Contoh ilmu yang fardhu kifayah adalah ilmu yang menunjang kehidupan seperti kedokteran, matematika, dan semisalnya.

Dengan ilmu, seseorang dapat mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, Ahli Ilmu adalah orang yang paling takut kepada Allah Azza wa Jalla, Dia berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Adab Penuntut Ilmu

   1. Berniat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena riya, bukan untuk mencari popularitas, bukan agar dikatakan ahli ilmu, dsb.

Bahkan ia menuntut ilmu karena Allah memerintahkannya, kemudian untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

مَنْ تَعَلَّمَ ِمماَّ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ لَا يَتَعَلَّمَهُ ِالَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ اْلجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya mengharap Wajah Allah, tetapi ia menuntut ilmunya agar mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mencium harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban, serta Hakim dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami 2/1060).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menyampaikan tentang orang yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka, yang di antaranya adalah seorang yang belajar ilmu, mengajarkannya, dan mempelajari Al-Qur’an, lalu ia dihadirkan di hadapan Allah, dan Allah memperkenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya sehingga ia mengakuinya, lalu Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan aku hapalkan Al-Qur’an karena Engkau.” Allah berfirman, “Engkau dusta. Engkau belajar ilmu agar dikatakan Ahli Ilmu, dan engkau mempelajari Al-Qur’an agar dikatakan “Qari,” dan itu sudah dikatakan kepadamu,” maka ia pun diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Ya Allah, berikanlah kepada kami keikhlasan ke dalam hati kami, ke dalam ucapan kami, dan pada perbuatan kami. Ya Allah, jadikanlah ilmu yang kami pelajari sebagai hujjah yang membela kami pada hari Kiamat, bukan malah mencelakakan kami, Amin.

   2. Mencari ilmu yang bermanfaat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, Beliau mengucapkan,

«اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَعَذَابِ، الْقَبْرِ اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا»

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, sikap bakhil, penyakit tua, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada diriku ketakwaan. Bersihkanlah, karena Engkau sebaik-baik yang membersihkannya, Engkau adalah wali dan pelindungnya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu, jiwa yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak mustajab.” (HR. Muslim dari Zaid bin Arqam)

Seorang penyair berkata,

مَا أَكْثَـرُ الْعِلْـمَ وَمَــا أَوْسَعَــهُ

مَنْ ذَا الَّـذِيْ يَقْــدِرُ أَنْ يَجْمَعَـهُ

إِنْ كُنْـتَ لاَ بـُدَّ لَـهُ طَـالِــبًا

مُحَاوِلاً، فَالْتَمِــسْ أَنْفَعَــــــــهُ

Alangkah banyak ilmu itu dan alangkah luasnya

Siapakah yang dapat mengumpulkannya

Jika kamu harus mencari dan berusaha kepadanya,

Maka carilah yang bermanfaat darinya.

Menurut Ibnu Rajab, ilmu yang bermanfaat adalah menghapal nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, memahami makna yang terkandung dalam keduanya, membatasi diri dalam hal tersebut dengan apa yang datang dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin dalam menggali kandungan Al-Qur’an dan Hadits, dan mempelajari apa yang datang dari mereka berkaitan dengan halal, haram, zuhud, kelembutan hati, pengetahuan, dan sebagainya. Barang siapa yang berhenti di atas ini dan mengikhlaskan niatnya karena Allah, serta memohon pertolongan kepada Allah dalam hal tersebut, maka Allah akan menolongnya, memberinya petunjuk, memberinya taufiq, meluruskannya, memahamkannya, dan mengilhaminya. Ketika itulah ilmu ini menghasilkan buahnya yang khusus, yaitu rasa takut kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Menurut penulis, itulah ilmu syar’i dan ilmu yang bermanfaat.

Dengan demikian, bahwa tanda ilmu yang bermanfaat adalah bahwa ilmu itu bersumber dari kitab Allah Azza wa Jalla, sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, dipahami dengan benar seperti generasi salaf memahaminya, mendorong pemiliknya mengamalkannya, menimbulkan rasa takut kepada Allah, tidak membuat pemiliknya sombong dan hasad, membuat pemiliknya tidak suka terhadap pujian, membuat pemiliknya tawadhu, mendekatkan pemilik ilmu ini kepada Allah, bukan membuatnya semakin cinta dunia dan menginginkan kekuasaan dan popularitas, serta tidak membuatnya su’uzh zhan (buruk sangka) terhadap para ulama terdahulu, wallahu a’lam.

   3. Fokus terhadap ilmu

Ada seorang yang berkata,

الْعِلْمُ لاَ يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ

“Ilmu tidak akan memberikan sebagiannya kepadamu sampai kamu memberikan bagianmu semua kepadanya.”

   4. Membersihkan diri dari dosa dan akhlak tercela.

Imam Syafi’i berkata,

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ

فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِى

فَإِنَّ الْحِفْظَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ

وَفَضْلُ اللهِ لاَ يُعْطَى لِعَاصِى

Aku pernah mengeluh kepada Waki’ tentang buruknya hapalanku,

Maka ia menunjukiku agar meninggalkan maksiat

Karena hapalan adalah karunia Allah

Dan karunia Allah itu tidak diberikan kepada pelaku maksiat.

   5. Bekerja tidak menghalangi seseorang menuntut ilmu

Para sahabat semuanya bekerja, namun setelah mereka bekerja, maka sisa waktunya mereka gunakan untuk belajar agama. Abu Sa’id berkata, “Kami berperang dan membiarkan seorang atau dua orang untuk mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu keduanya menceritakan kepada kami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami juga menceritakan; kami berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.” (HR. Ibnu ‘Asakir).

Oleh karena itu, tidak mengapa seseorang menggabungkan antara menuntut ilmu, bekerja, dan mencari rezeki.

   6. Harus bersabar

Seorang penuntut ilmu menghiasi dirinya dengan sikap sabar. Ada yang mengatakan, bahwa barang siapa yang tidak siap memikul penderitaan dalam menuntut ilmu, maka ia harus siap berada dalam hinanya kebodohan sampai hari Kiamat.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Yahya bin Katsir, ia berkata, “Ilmu tidaklah diperoleh dengan jiwa-raga yang santai.

Imam Syafi’i pernah berkata,

أَخِيْ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنَبِّئُكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاجْتِهَادٍ وَدِرْهَمٍ وَصُحْبَةِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

“Saudaraku, kamu tidak akan mencapai ilmu kecuali dengan enam perkara, aku akan terangkan dengan jelas, yaitu: kecerdasan, semangat, sungguh-sungguh, ada dirham (biaya), didampingi guru, dan waktu yang lama.”

   7. Bertahap dalam belajar

Seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari yang lebih berhak didahulukan di antara sekian ilmu, seperti ilmu tauhid, ibadah, dst. Selanjutnya bisa serahkan hal itu kepada gurunya yang terpercaya. Demikian pula hendaknya ia berusaha menguasai berbagai disiplin ilmu. Yahya bin Khalid pernah berkata kepada putranya, “Hendaknya engkau mengetahui berbagai macam disiplin ilmu, karena seseorang akan menjadi musuh terhadap apa yang tidak diketahuinya, dan aku tidak ingin engkau menjadi musuh salah satu cabang ilmu.”

   8. Mendalami salah satu disiplin ilmu

Apabila seseorang hendak mendalami salah satu disiplin ilmu, maka hendaknya ia memilih di antara ilmu itu yang lebih mulia dan bermanfaat, dan sesuai dengan bakat dan minatnya.

   9. Menghapal, memahami, dan menghayati

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ»

“Semoga Allah membuat cemerlang wajah seorang yang mendengar dariku sebuah hadits, lalu ia menghapalnya sampai ia menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu menyampaikan kepada yang lebih berilmu lagi, dan betapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak menjadi faqih (Ahli Fiqh).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).

Sufyan Ats-Tsauriy rahimahullah pernah berkata,

اَوَّلُ الْعِلْمِ اْلإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْإِنْصَاتُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ النَّشْرُ

“Ilmu diawali dengan mendengarkan, lalu memperhatikan, kemudian menghapalnya, lalu mengamalkan kemudian menyebarkan.”

   10. Mencatat ilmu

Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya di antara penyebab terhalangnya ilmu adalah menghadiri majlis ilmu tanpa menyalinnya.”

Ada yang berkata, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Ada pula yang berkata, “Ilmu itu binatang buruan, dan talinya adalah mencatat.”

   11. Mengulang-ulang pelajaran

Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah rasa takut, mencarinya adalah ibadah, mengingat-ingatnya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkan kepada orang yang tidak tahu adalah sedekah dan memberikan kepada orang yang berhak adalah sebuah pendekatan diri kepada Allah.”

   12. Tidak malu dalam belajar

Aisyah berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, dimana rasa malu tidak menghalangi mereka belajar agama.”

Mujahid berkata, “Orang yang malu dan sombong tidak dapat mempelajari ilmu.”

Ketahuilah, ilmu adalah perbendaharaan, sedangkan kuncinya adalah bertanya.

   13. Rihlah (mengadakan perjalanan) untuk mencari ilmu

Jabir bin Abdillah berkata, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang ia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku beli seekor unta untuk pergi mendatanginya, maka aku pergi kepadanya dalam waktu sebulan hingga aku sampai di Syam, lalu aku mendapatinya yaitu Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, maka aku berkata kepada penjaga pintu, “Katakan kepadanya bahwa Jabir ada di pintu.” Maka Abdullah bin Unais berkata, “Apakah putera Abdullah?” Aku menjawab, “Ya.” Maka ia pun segera keluar menemuinya, lalu ia memelukku dan aku pun memeluknya, maka aku berkata, “Ada sebuah hadits yang sampai kepadaku darimu; bahwa engkau mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qishas, maka aku khawatir kamu wafat atau aku wafat sebelum aku mendengarnya, maka Abdulllah bin Unais menyampaikan hadits itu kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani)

Asy Sya’biy rahimahullah berkata, “Kalau seseorang mengadakan safar dari ujung Syam ke ujung Yaman untuk mendengar satu kalimat hikmah (hadits), maka menurutku ia tidak sia-sia.”

   14. Mengamalkan ilmu

Allah Subhaanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmu mereka dan menyerupakan mereka seperti keledai yang memikul kitab-kitab, namun tidak paham isinya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Terj. QS. Al-Jumu’ah: 5)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»

“Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat sampai ditanya tentang usianya; dalam hal apa ia habiskan, tentang ilmunya; apa saja yang sudah ia amalkan, tentang hartanya; dari mana ia peroleh dan ke mana ia keluarkan, dan tentang badannya, untuk hal apa ia kerahkan.” (HR. Tirmidzi dari Abu Barzah Al Aslami, dan dishahihkan oleh Al Albani)

   15. Diam menyimak pelajaran

Al Hasan bin Ali pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, jika engkau duduk bersama para ulama, maka hendaknya telingamu lebih engkau dahulukan daripada ucapan, dan belajarlah mendengar yang baik sebagaimana engkau belajar bagaimana diam yang baik.”

Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pertanyaan yang diajukan maksudnya adalah meminta penjelasan, bukan untuk berdebat apalagi melemahkan.

   16. Beradab ketika berada di majlis ilmu

Hendaknya seorang muslim duduk di hadapan gurunya dengan adab dan sopan santun, tidak banyak menoleh, berisyarat, apalagi tertawa, serta memperhatikan penampilan yang baik dan bersih.

   17. Tidak bicara dan bertanya kecuali setelah meminta izin

   18. Tidak merendahkan teman atau mengolok-olok mereka, bahkan ia merasakan bahwa mereka adalah saudaranya.

   19. Memperhatikan sebab untuk memperoleh ilmu.

Hendaknya tempatnya terang, suasananya tenang, tidak belajar di kasur, merapikan buku-buku, memberikan waktu istirahat untuk badannya, memilih waktu yang tepat, dan membagi waktu dengan baik.  

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Maktabah Syamilah versi 3.45, http://islam.aljayyash.net, dll.