بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurahkepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

**********

BAB : KETIDAKBERHAKAN SELAIN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA UNTUK DISEMBAH

Firman Allah Ta’ala,

أَيُشْرِكُونَ مَا لاَ يَخْلُقُ شَيْئاً وَهُمْ يُخْلَقُونَ،-وَلاَ يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلاَ أَنفُسَهُمْ يَنصُرُونَ

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan manusia.--Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS. Al A’raaf: 191-192)

**********

Penjelasan :

Pada bab ini, penyusun menyebutkan dalil batilnya perbuatan syirik dan menerangkan keadaan sesembahan selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dimana di dalamnya terdapat hujjah yang pasti terhadap kebenaran tauhid.

Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menggunakan kalimat pertanyaan untuk mengingkari orang-orang yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu seperti patung dan berhala, bahwa patung-patung dan berhala-berhala tidak dapat menciptakan, sedangkan mereka sendiri diciptakan. Demikian pula tidak dapat menolong para penyembahnya, bahkan menolong diri mereka sendiri mereka tidak bisa.

Perhatikanlah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam seorang diri menghancurkan patung-patung! Kalau sekiranya mereka bisa menyelamatkan diri mereka sendiri tentu mereka tidak hancur.

Kesimpulan :

1. Batilnya perbuatan syirik (menyektukan Allah Subhanahu wa Ta’ala).

2. Yang menciptakan itulah yang berhak disembah, yaitu Allah Azza wa Jalla.

3. Tauhid Rububiyyah menghendaki tauhid Uluhiyyah.

4. Disyariatkan berdebat dengan kaum musyrik untuk menjunjung kebenaran dan mengalahkan kebatilan.

**********

Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ - إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“Dan yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.--Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Pada hari kiamat, mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir: 13-14)

**********

Penjelasan :

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahau wa Ta’ala menerangkan keadaan sesembahan kaum musyrik berupa patung-patung dan berhala yang menunjukkan kelemahan mereka, dan bahwa sesembahan itu tidak memiliki apa yang mereka (para penyembah) minta, tidak mendengar, dan tidak berkuasa mengabulkan permohonan mereka.

Dalam ayat ini juga terdapat bukti batilnya perbuatan syirik, serta terdapat bantahan terhadap kaum musyrik.

Kesimpulan :

1. Batilnya perbuatan syirik.

2. Alasan ketidakberhakan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk disembah.

3. Akidah yang benar didasari dalil wahyu dan akal; bukan hanya kira-kira dan taqlid buta (ikut-ikutan).

4. Menetapkan ilmu bagi Allah terhadap kesudahan segala sesuatu.

**********

Dalam Kitab Shahih dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terluka pada perang Uhud, dan gigi seri Beliau pecah, lalu Beliau bersabda,

كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوْا نَبِيَّهُمْ

“Bagaimana suatu kaum akan beruntung, sedangkan mereka melukai wajah Nabi mereka?”

Selanjutnya turunlah firman Allah Ta’ala,

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ

“Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (QS. Ali Imran: 128)

**********

Penjelasan :

Hadits di atas disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dalamAl Maghazi, dan dimaushulkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa’i dari beberapa jalan dari Humaid sebagaimana dalam Al Fat-h (7/365), adapun hadits Tsabit dimaushulkan oleh Muslim dalam Al Jihad was Siyar (1791), Bab Ghazwah Uhud dari riwayat Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Demikian takhrij Syaikh Ali bin Sinan.

Dalam hadits di atas, Anas radhiyallahu ‘anhu menyampaikan hal yang menimpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Uhud, yang kemudian Beliau merasa bahwa kaum Kafir Quraisy tidak akan beruntung lagi, lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat di atas yang menunjukkan, bahwa hal itu adalah urusan-Nya; bisa saja Dia menerima taubat mereka atau mengazab mereka, karena mereka adalah orang-orang zalim.

Hubungan ayat di atas dengan bab ini adalah, bahwa dalam ayat ini terdapat dalil batilnya berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan para nabi dan para wali, karena jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang Rasul pilihan saja tidak berkuasa menghindarkan musibah dari diri Beliau, apalagi selain Beliau.

Kesimpulan :

1. Batilnya berbuat syirik (menyekutukan Allah) dengan para Nabi dan orang-orang shalih.

2. Para Nabi dan Rasul sebagaimana manusia yang lain merasakan sakit.

3. Wajibnya mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.

4. Disyariatkan bersabar dan siap memikul gangguan di jalan Allah.

5. Larangan berputus asa dari rahmat Allah meskipun seseorang melakukan berbagai kemaksiatan besar selain syirik.

**********

Dalam kitab Shahih pula dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa saat bangun dari ruku pada rakaat terakhir shalat Subuh,

اَللَّهُمَّ الْعَنْ فُلاَناً وَفُلاَناً

“Ya Allah, berilah laknat kepada si fulan dan si fulan!”

Setelah Beliau mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah – Rabbana walakal hamdu,” maka Allah Ta’ala menurunkan firman, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (QS. Ali Imran: 128)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Beliau mendoakan keburukan terhadap Shafwan bin Umayyah, Suhail bin Amr, dan Harits bin Hisyam, lalu turunlah firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (QS. Ali Imran: 128)

**********

Penjelasan :

Riwayat yang pertama disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 4069, sedangkan riwayat kedua disebutkan dalam kitab yang sama no. 4070.

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang sahabat mulia dan termasuk ulama di kalangan sahabat, ia wafat pada tahun 73 H.

Dalam hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya melakukan qunut nazilah (karena musibah yang menimpa kaum muslimin); mendoakan keburukan kepada beberapa orang kafir yang menjadi pemimpin kaum musyrik dalam perang Uhud, namun kemudian Allah menerima taubat mereka, mereka pun masuk Islam dan keislaman mereka menjadi baik.

Hadits di atas juga menunjukkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu menghilangkan derita yang menimpa Beliau sendiri shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, bahkan Beliau kembali kepada Allah Azza wa Jalla meminta pertolongan-Nya. Hal ini menunjukkan batilnya keyakinan para penyembah kubur terhadap para wali dan para nabi, yaitu bahwa mereka (para wali dan para nabi) dapat menghindarkan bahaya dan musibah.

Kesimpulan:

1. Batilnya bergantung kepada para Wali dan para Nabi dalam memenuhi hajat dan menghilangkan derita.

2. Bolehnya mendoakan keburukan kepada kaum musyrik dalam shalat.

3. Disyariatkannya qunut nazilah, dan bahwa lafaznya menyesuaikan kondisi.

**********

Dalam Kitab Shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (di atas bukit Shafa) ketika Allah telah menurunkan kepada Beliau,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS. Asy Syu’ara: 214)

Beliau bersabda, “Wahai kaum Quraisy! –atau mengucapkan kalimat yang semisalnya- Tebuslah diri kalian (dari siksa Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya). Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk kalian di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muththalib! Aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah. Wahai Fatimah binti Muhammad! Silahkan minta kepadaku harta yang kumiliki sesuai kehendakmu. Tetapi, aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu di hadapan Allah.”         

**********

Penjelasan :

Nama Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakhr, berasal dari suku Daus. Ia termasuk sahabat utama, penghapal ilmu, dan termasuk ulama di kalangan sahabat. Ia meriwayatkan hadits lima ribu hadits lebih, wafat pada tahun 59 atau 58, atau 57 H.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Bukhari no. 2753, Muslim no. 206, dan Tirmidzi no. 3184.

Dalam hadits di atas, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan tentang sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendapat perintah Allah untuk memberikan peringatan kepada kerabatnya, dimana Beiau langsung melaksanakannya. Beliau juga menyeru kaum Quraisy berikut suku-sukunya, menyeru pula paman, bibi, dan puteri Beliau. Beliau menyuruh mereka menebus diri mereka dari siksa Allah dengan mentauhidkan dan menaati-Nya, dan menyampaikan bahwa Beliau tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Allah, dan bahwa kedekatan nasab mereka dengan Beliau tidaklah bermanfaat apa-apa tanpa diiringi keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits di atas juga terdapat dalil, bahwa tidak boleh meminta pertolongan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi kepada selain Beliau dari kalangan para nabi dan para wali yang telah wafat. Demikian pula terdapat bantahan terhadap para penyembah kubur yang meminta-minta kepada orang-orang yang telah mati untuk menghilangkan derita dan memenuhi hajatnya.

Kesimpulan :

1. Bantahan terhadap para penyembah kubur yang meminta kepada para Nabi dan para Wali yang telah wafat.

2. Tidak diperbolehkan meminta pertolongan kepada seseorang kecuali jika orang itu mampu melakukannya, ada di hadapannya, dan masih hidup.

3. Segeranya Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam menyambut perintah Allah Azza wa Jalla dan menyampaikan risalah-Nya.

4. Tidak ada yang dapat menyelamatkan seseorang dari azab Allah kecuali iman dan amal saleh.

5. Sekedar sebagai kerabat tidaklah bermanfaat bagi seseorang tanpa diiringin iman dan amal saleh.

Bersambung...

Marwan bin Musa

Maraji’ : Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.