بسم الله الرحمن الرحيم

Dr. Nashir Al ‘Aql berkata dalam bukunya Mujmal Ushul Ahlissunnah Fil ‘Aqidah:

     32. تقسيم الدين الى حقيقة يتميز بها الخاصة وشريعة تلزم العامة دون الخاصة وفصل السياسة أو غيرها عن الدين باطل, بل كل ما خالف الشريعة من حقيقة أو سياسة أو غيرها فهو إما كفر وإما ضلال بحسب درجته.

Pembagian agama kepada hakikat yang dikhususkan untuk orang-orang tertentu dan syariat yang hanya wajib diikuti orang-orang awam saja serta memisahkan urusan politik atau urusan lainnya dari agama adalah tindakan batil (tidak benar). Apa pun yang bertentangan dengan syari’at, baik hakikat, politik maupun perkara lainnya maka hukumnya bisa kufur dan bisa pula sesat, sesuai dengan tingkatannya.(Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql).

Penjelasan:

Pembagian istiah hakekat, syari’at dan ma’rifat adalah istilah yang diada-adakan oleh orang Shufi. Yang dimaksud hakekat menurut mereka adalah orang tertentu yang sudah mencapai maqam (kedudukan) tertentu, sehingga dengan itu gugur kewajiban syari’at. Syari’at adalah istilah untuk orang awam yang masih melaksanakan kewajiban syari’at. Istilah ini pada hakekatnya dapat membatalkan dan menggugurkan ajaran agama Islam sehingga dapat mengeluarkan orang itu dari Islam dengan keyakinannya.

Demikian pula termasuk hal yang batil memisahkan urusan politik dari agama. Bahkan menjauhkan politik dari agama akan membuahkan politik yang semena-mena dan tindak kezaliman terhadap orang lain.

Kritik terhadap sekularisme (paham memisahkan agama dengan negara)

Perlu diketahui, bahwa Islam mencakup agama dan daulah (negara), ibadah dan kepemimpinan. Namun sangat disayangkan ada sebagian orang yang hendak memisahkan agama ini dari negara, dia mengira bahwa agama ini tidak campur tangan dalam mengatur negara. Oleh karenanya, dalam risalah yang singkat ini, akan disebutkan sedikit dalil bahwa agama ini mengatur pula urusan kenegaraan.

Negara atau dalam bahasa Arab disebut dengan Daulah, adalah bagian dari bumi yang ditempati oleh sejumlah besar masyarakat, diatur oleh kekuasaan dan di atas undang-undang tertentu.

Agama Islam pada periode Mekah berada dalam keadaan yang begitu berat; tidak memungkinkan untuk dapat mewujudkan ajaran Islam secara kaffah (sempurna), hingga apabila telah ada unsur-unsur masyarakat yang baru, maka dilepasnya genggaman jahiliyyah tersebut, Allah pun memberikan tempat dan menguatkan mereka dengan kota Madinah, maka tegaklah di sana negara Islam di bawah pimpinan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan turunlah berbagai syari’at secara rinci, sehingga lengkaplah ketika itu apa yang disebut dengan Negara Islam, karena ada tempat, masyarakat, undang-undang dan pemerintah. Tempatnya di Madinah, masyarakatnya terdiri dari kaum muslimin dan non muslim, undang-undangnya wahyu, dan pemerintahnya adalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Yang demikian adalah karena agama ini adalah agama yang lengkap. Allah menurunkannya agar dikedepankan oleh individu dan masyarakat, dijadikan pedoman oleh mereka dalam menjalani hidup di dunia. Dari sinilah diketahui bahwa agama ini mengakui tegaknya negara, kekuasaan yang mengatur urusannya, bahkan hal itu adalah wajib untuk menjaga agama dan dunia secara bersamaan, dan lagi ajaran Islam tidaklah dapat tegak secara kaffah melainkan dengan adanya Negara dan kekuasaan.

Dalil Pertama, perintah-perintah dalam Al Qur’an.

Kita dapat melihat perintah-perintah dalam Al Qur’an yang memerintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selaku pemimpin kaum mukmin untuk mengatur pemerintahan dan melakukan siasah (politik), seperti menyiapkan pasukan (lihat. Al Anfal: 60), mengadakan perjanjian damai dan genjatan senjata (lihat At Taubah: 4), pembatalan perjanjian (lihat Al Anfal: 58), mengumumkan perang (lihat Al Anfal: 57), pemungutan zakat dan penyalurannya (lihat At Taubah: 60 dan 103), penegakkan hudud (lihat Al Maa’idah: 38, An Nuur: 2 dan 4, dll.), qishas (lihat Al Baqarah: 178), menyikapi para tawanan perang (lihat surat Muhammad: 4), menaati ulil amri/pemerintah (lihat An Nisaa’: 59), syura/musyawarah (Ali Imran: 159)…dll.” Hal ini tidak hanya sebatas teori, bahkan menghendaki untuk diwujudkan dan dijadikan acuan dalam berpolitik oleh pemerintah Islam.

Dalil kedua, praktek Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selaku pemerintah mempraktekkan perintah-perintah tersebut dan melakukan semua yang memang menjadi tugas negara. Beliau mengirim utusan, membentuk pasukan, menerima utusan, menjabat sebagai hakim, mengangkat panglima dan para pemungut zakat, mengirim surat kepada para kepala negara, dsb.

Dalil ketiga, sunnah para khulafa raasyidin.

Termasuk hal yang sangat penting juga untuk diperhatikan adalah banyaknya perintah yang ditujukan kepada kaum mukmin, tidak hanya kepada diri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa masalah daulah dan pemerintahan terkait dengan kaum mukmin di setiap zaman, dan tidak hanya di zaman Beliau saja. Oleh karenanya, saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat para sahabat memilih orang yang mengurus jenazah Beliau, dan Abu Bakar berkata, “Tidak dapat tidak untuk masalah ini (yang melanjutkan tugas Beliau) harus ada orang yang menegakkannya.”

Demikian juga pada ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ketika ia mengingkari orang-orang khawarij tentang pentingnya khilafah, ia berkata, “Manusia harus dipimpin baik oleh orang yang baik atau buruk!” Lalu ada yang berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Orang yang baik telah kami ketahui, lalu bagaimana dengan orang yang buruk? Ia menjawab, “Dengannya ditegakkan hudud, jalan-jalan menjadi aman, musuh dapat diperangi, dan fai’ dapat dibagi.”

Atas dasar inilah tegak daulah para khulafa raasyidin setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat yang berjalan di atas ajaran Islam. Imam Al Mawardiy berkata, “Kepemimpinan dibangun untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.”

Al Ghazaliy berkata, “Agama adalah asal (pokok), kekuasaan adalah penjaga. Jika sesuau tidak ada asalnya, maka akan roboh, dan jika tidak ada penjaganya, maka akan hilang.”

Di antara tugas penting negara

Tugas penting bagi negara adalah menjaga agama, menyebarkan dakwah Islam, menyelesaikan permasalahan manusia dengan adil, menyingkirkan berbagai kemungkaran di tengah masyarakat, menjaga akhlak masyarakat, menjaga perbatasan dan wilayah serta memelihara daerah yang dihormati agama (seperti tanah suci), menegakkan hudud, berjihad membela orang yang dizalimi dan melawan orang yang menetang Islam setelah didakwahi agar ia masuk Islam atau berada di bawah jaminan Islam dengan membayar jizyah agar hak Alah tegak (yaitu tingginya Islam di atas semua agama), memungut zakat dan membagikan fai’ (harta yang diperoleh tanpa melalui peperangan), mengatur keuangan Baitulmal dan memberikan yang berhak mendapat jatah darinya, mengangkat orang-orang yang amanah untuk diserahi mengerjakan tugas atau memegang harta, menangani masalah secara langsung dan tidak terlalu sering bersandar kepada wakil karena mementingkan bersenang-senang atau beribadah, memperhatikan kaum fakir-miskin dalam seluruh sisi kehidupan, seperti memerdekakan budak, membantu orang yang berhutang, mewalikan ‘akad bagi yang tidak memiliki wali, dan sebagainya. Bahkan tidak pernah ada dalam sejarah sebuah negara melakukan peperangan hanya karena kepentingan kaum fakir-miskin sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para sahabat lainnya yang memerangi orang yang enggan membayar zakat. Abu Bakar Ash Shiddiq berkata, “Demi Allah! Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dengan zakat.”

Aturan yang demikian indah di zaman kebodohan merata di mana-mana tidak lain merupakan hidayah dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Mengetahui lagi Mahateliti, berbeda dengan negara-negara lain yang baru membentuk aturan setelah mereka terjatuh dan tertindas.

Syari’at tersebut saking hebatnya sampai menjadikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam siap mengurus rakyatnya yang kesusahan yang belum pernah dicapai oleh negara mana pun sampai sekarang. Beliau bersabda, “Tidak ada seorang mukmin pun kecuali saya lebih utama baginya di dunia dan akhirat. Bacalah kalau kalian mau ayat, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (terj. Al Ahzab: 6) oleh karena itu, siapa saja mukmin yang wafat dan meninggalkan harta, maka hendaknya diwarisi oleh ‘ashabahnya siapa pun mereka, dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau ada kehilangan, maka datanglah kepadaku, karena aku adalah walinya.” (HR. Bukhari)

Keistimewaan Negara Islam

Daulah yang diwajibkan Allah untuk ditegakkan ini memiliki keistimewaan, di antaranya:

-    Daulah ‘Aqidah yang tegak di atas iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada qadha’ dan qadar.

-    Agama Allah (Islam) menjadi jalan hidup negara tersebut, hakim maupun rakyatnya wajib memegangnya.

-    Yang membuat syari’at adalah Allah Rabbul ‘alamin, dan setiap syari’at yang bertentangan dengannya dianggap tidak berlaku dan batal.

-    Tidak ada dalam daulah Islam pendirian tempat pembuatan undang-undang, yang ada adalah tempat ijtihad dalam lingkup syari’at dengan berpegang kepada nash, ushul, dan kaedah umum.

-    Aturan politik dan kemasyarakatan tegak di atas prinsip syura, persaudaraan dan tolong-menolong.

-    Menaati ulil amri wajib dalam hal yang ma’ruf, dan haram taat kepadanya dalam hal maksiat.

-    Umat (terutama ulamanya) dituntut memperhatikan pemerintahan, menasehatinya dengan cara yang baik kekeliruan pemerintah (tidak dengan demonstrasi) agar pemerintahan berjalan dengan baik.

-    Tugas utamanya adalah menguatkan syari’at Allah di bumi, membelanya, mendakwahkannya dan menyebarkannya di tengah-tengah manusia.”

Catatan:

Syari’at Islam mencakup ‘Aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jinayat, dsb. Di antara syari’at itu ada yang ditujukan kepada masing-masing orang (seperti Aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dsb), dan ada pula yang diserahkan pelaksanaannya kepada pemerintah Islam seperti penegakkan hudud, pembagian fai’ (harta yang didapat tanpa melalui peperangan), dsb.  Al Hasan Al Basri berkata, “Mereka (pemerintah) memegang lima urusan, yaitu: shalat Jum’at, shalat jama’ah, hari raya, menjaga perbatasan dan menegakkan hudud.

Syubhat dan jawaban

Ada yang mengatakan bahwa syari’at Islam tidak datang  seperti model undang-undang?

Jawab: Islam memang tidak menyebutkan syari’at dalam bentuk seperti halnya undang-undang, akan tetapi ia menyebutkan prinsip-prinsip, kaidah, dan penopang asasi untuk memerintah dan dalam bernegara, sehingga ia berada antara tetapnya ushul dan lenturnya cara dan bentuknya. Hal ini merupakan karunia Allah dan sempurnanya hidayah-Nya kepada kaum muslimin karena Dia telah mencukupkan mereka dan menyebutkan hal yang memang harus tetap (tidak berubah)_ seperti syura, keadilan, menetapkan sumber hukum,  manhaj yang sempurna yang diletakkan di hadapan mereka agar menjadi hakim terhadap setiap masalah dan penyelesai ketika terjadi perselisihan. Di samping itu, Islam membiarkan kepada mereka cara dan sarana dalam mempraktekkannya agar mereka berijtihad dan bersegera mengambil semua yang baik dari berbagai cara dan contoh dalam ruang lingkup kaedah dan prinsip yang sudah ditanam, karena hikmah (cara tepat) merupakan barang hilang milik seorang mukmin, di mana saja ia menemukannya, maka ia leih berhak terhadapnya. Hal ini pun menunjukkan keluesan syari’at Islam dan cocoknya di setiap zaman, setiap tempat dan setiap umat wal hamdulillah. Berbeda jika aturannya demikian ketat sehingga bagi suatu tempat dan suatu umat tidak dapat dipraktekkan. Wallahu a’lam.

 

Marwan bin Musa

 

Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Ust. Yazid bin A.Q Jawas), Ad Daulah Al Islaamiyyah (Dr. Abdus Sattar Fat-hullah Sa’iid) dll.