بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

**********

BAB : MENYEMBELIH BINATANG KARENA ALLAH TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI TEMPAT PENYEMBELIHAN YANG BUKAN KARENA ALLAH

Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ-لاَ تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (kepada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).--“Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.” (QS. At Taubah: 107-108)

**********

Jika pada bab sebelumnya penyusun (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) menerangkan hukum menyembelih untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka pada bab ini beliau menerangkan dilarangnya sarana yang bisa mengantarkan terjadi penyembelihan untuk selain Allah Azza wa Jalla, dan dilarangnya menyerupai orang-orang musyrik yang menyembelih untuk selain Allah, seperti untuk jin, kuburan, patung, dan berhala.

Dalam ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala melarang shalat di masjid dhirar yang dibangun kaum munafik dengan maksud untuk menimpakan madharat (bahaya) kepada kaum mukmin dan memecah-belah kesatuan mereka sekaligus untuk kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana mereka meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di dalamnya. Sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mau memenuhi tawaran mereka (kaum munafik) karena Beliau belum mengetahui niat jahat mereka, namun setelah Allah turunkan ayat di atas, maka Beliau pun tahu niat jahat mereka, sehingga Allah melarang Beliau melakukan shalat di sana dan memerintahkan shalat di Masjid Quba atau masjid Nabawi yang memang dibangun atas dasar takwa.

Penulis berdalih dengan ayat di atas untuk menerangkan terlarangnya penyembelihan yang dilakukan karena Allah namun di tempat yang di sana dilakukan penyembelihan untuk selain-Nya; yakni sebagaimana masjid dhirar yang dibangun atas dasar maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dilarang melakukan shalat di sana meskipun niatnya Lillah (karena Allah), maka penyembelihan yang dilakukan karena Allah tidak boleh juga dilakukan di tempat yang di sana dilakukan penyembelihan untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Pada ayat di atas juga, Allah Subhaanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang memakmurkan masjid Quba’, bahwa mereka ingin membersihkan diri mereka baik dari kotoran batin, yaitu syirk, maupun kotoran lahir, yaitu najis. Dan Allah menyukai orang-orang yang memiliki sifat ini.

Kesimpulan :

1. Dilarangnya menyembelih binatang di tempat yang biasa dijadikan kaum musyrik sebagai penyembelihan untuk selain Allah.

2. Anjuran shalat secara berjamaah.

3. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

4. Dorongan bersuci dari najis dan menyempurnakan wudhu.

5. Disyariatkan menutup jalan yang mengantarkan kepada kemusyrikan.

**********

Dari Tsabit bin Dhahhak ia berkata, “Ada seorang yang bernadzar menyembelih unta di Buwanah, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bertanya, “Apakah di sana terdapat salah satu berhala yang pernah disembah kaum Jahiliyah?” Para sahabat menjawab, “Tidak ada.” Beliau bertanya lagi, “Apakah di sana menjadi tempat perayaan hari raya mereka?” Para sahabat menjawab, “TIdak.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوْفِ بِنَذْرِكَ، فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ

“Penuhilah nadzarmu, karena tidak boleh memenuhi nadzar yang di dalamnya terdapat kemaksiatan kepada Allah dan dalam hal yang tidak dimiliki anak cucu Adam.” (HR. Abu Dawud, dan isnadnya menurut syarat Bukhari dan Muslim)

**********

Tsabit bin Dhahhak bin Khalifah bin Tsa’labah bin Addiy Al Asyhali Al Khazrajiy Al Anshari adalah seorang sahabat yang masyhur. Ia hadir dalam Bai’atur Ridhwan, dan pernah dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Khandaq, serta menjadi penunjuk jalan Beliau ke Hamra’ul Asad. Ia wafat pada tahun 64 H.

Nadzar secara istilah adalah mewajibakn suatu ibadah yang sebelumnya tidak wajib baginya secara syara’.

Buwanah adalah nama sebuah tempat di sebelah selatan kota Makkah, sebelum Yalamlam; atau anak bukit di belakang Yanbu’.

Dalam hadits di atas diterangkan, bahwa ada seorang yang bernadzar menyembelih unta di sebuah tempat, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; apakah boleh ia melakukannya atau tidak, kemudian Beliau menanyakan tempat pelaksanaan penyembelihan tersebut; apakah sebelumnya terdapat sesembahan kaum musyrik, atau kaum musyrik memuliakannya dan berkumpul di sana untuk merayakannya. Setelah Beliau diberitahukan bahwa di tempat itu tidak ada hal-hal demikian, maka Beliau menyuruh memenuhi nadzarnya. Selanjutnya Beliau menerangkan, bahwa nadzar tidak boleh dilakukan jika terdapat maksiat kepada Allah atau terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya. Contoh terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya adalah ketika seseorang bernadzar akan memerdekakan budak milik orang lain.

Hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dilarangnya penyembelihan karena Allah namun di tempat yang terdapat berhala atau terdapat perayaan kaum musyrik.

Kesimpulan :

1. Larangan melaksanakan nadzar di tempat yang terdapat berhala.

2. Larangan melaksanakan nadzar di tempat yang terdapat perayaan kaum musyrik.

3. Hendaknya seorang mufti bertanya lebih lanjut kepada penanya sebelum berfatwa.

4. Syariat menutup jalan yang bisa mengantarkan kepada kemusyrikan.

5. Penyembelihan yang dilakukan di tempat kaum musyrik menyembelih atau di tempat mereka mengadakan perayaan merupakan sebuah kemaksiatan.

6. Nadzar yang mengandung maksiat tidak boleh dilaksanakan,

7. Wajibnya menunaikan nadzar yang kosong dari maksiat dan pada milikinya.

8. Nadzar merupakan ibadah, sehingga tidak boleh mengarahkannya kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

9. Tidak menyerupai kaum musyrik dalam ibadah dan hari raya mereka.

Bersambung...

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), dll.