بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

**********

BAB : RUQYAH DAN TAMIMAH

Dalam Kitab Shahih dari Abu Basyir Al Anshariy radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau mengirimkan seorang utusan untuk menyampaikan pesan,

لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ، أَوْ قِلاَدَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ

“Tidak boleh ada lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apa pun kecuali harus diputuskan.”

**********

Penjelasan :

Hadits di atas disebutkan dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abu Dawud.

Abu Basyir Al Anshari adalah seorang sahabat yang hadir dalam perang Khandaq. Ada nukilan dari Al Waqidiy, bahwa ia hadir dalam perang Uhud, ketika itu usianya masih muda belia. Ada yang mengatakan, bahwa namanya adalah Qais bin Ubaid bin Al Hurair, dan ia wafat pada tahun 40 H.

Hadits di atas menjelaskan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim seseorang untuk menyerukan ke tengah-tengah manusia agar memutuskan kalung yang ada di leher unta yang dijadikan sebagai penangkal penyakit ‘ain (yang diakibatkan oleh mata seorang yang hasad) atau untuk menghindarkan malapetaka. Hal itu, karena perbuatan tersebut adalah syirk. 

Kesimpulan :

1. Menggunakan tali busur untuk menghindarkan musibah atau malapetaka termasuk syirk.

2. Perintah mengingkari perbuatan yang munkar.

3. Menyampaikan ta’lim kepada manusia hal-hal yang dapat menjaga keutuhan akidah mereka.

**********

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirk.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Tamimah adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menghindarkan mereka dari penyakit ‘ain. Jika yang dikalungkan itu diambil dari Al Qur’an, maka sebagian kaum salaf memberikan keringanan dalam hal ini, dan sebagian lagi tidak memperbolehkannya dan melarangnya, di antaranya adalah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Ruqyah yang disebut juga dengan istilah azimah (jampi-jampi). Ini diperbolehkan jika penggunaannya bersih dari perkara syirk, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati penyakit ‘ain atau sengatan kalajengking.

Tilawah adalah sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan istri cinta kepada suaminya, atau suami cinta kepada istrinya (semacam pelet).  

**********

Penjelasan :

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabiy.

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa menggunakan hal-hal yang disebutkan di atas dengan maksud menghindarkan musibah dan mendatangkan manfaaat adalah syirk. Hadits ini meskipun bentuknya khabar (berita) namun maksudnya adalah dilarangnya melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Menurut pendapat yang shahih, bahwa menggunakan Tamimah meskipun diambil dari ayat-ayat Al Qur’an adalah dilarang sebagai bentuk pencegahan agar tidak jatuh ke dalam perbuatan syirk dan untuk menjaga ayat-ayat Al Qur’an.

Adapun Ruqyah, maka yang diperbolehkan adalah ruqyah yang bersih dari perkara syirk, dimana di dalamnya tidak terdapat permohonan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Ruqyah yang diperbolehkan misalnya ruqyah yang menggunakan nama-nama Allah dan sifat-Nya, dengan menggunakan ayat-ayat-Nya, dan doa-doa yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan Tiwalah, hukumnya jelas haram tanpa ada khilaf lagi, karena termasuk sihir.   

Kesimpulan :

1. Dorongan untuk menjaga keutuhan akidah dari hal-hal yang dapat merusaknya.

2. Haramnya menggunakan tamimah, jimat, dsb.

3. Haramnya melakukan tiwalah.

4. Ruqyah yang diperbolehkan adalah ruqyah yang bersih dari perkara syirk.

**********

Dari Abdullah bin Ukaim secara marfu’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“Barang siapa yang memakai sesuatu (dengan anggapan, bahwa barang tersebut bermanfaat atau dapat melindungi dirinya dari marabahaya) maka orang itu akan dijadikan selalu bergantung kepadanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

**********

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al Musnad 4/211 dan Tirmidzi no. 2073, dan dihasankan oleh Al Albani.

Abdullah bin Ukaim dipanggil dengan panggilan Abu Ma’bad Al Juhanniy. Ia hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak diketahui bahwa ia mendengar dari Beliau.

Hadits di atas menjelaskan, bahwa barang siapa yang cenderung baik dengan hati maupu perbuatannya kepada sesuatu yang diharapkan manfaat dan pengaruhnya dalam menghindarkan bahaya, maka Allah akan menjadikan hatinya bergantung kepadanya dan ia akan mendapatkan kekecewaan. Sebaliknya, barang siapa yang bergantung kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya dan memudahkan segala sesuatu yang sulit baginya.

Dalam hadits di atas terdapat larangan bergantung kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam mendatangkan manfaat dan menghindarkan musibah.

Kesimpulan :

1. Larangan bergantung kepada selain Allah.

2. Wajibnya bergantung kepada Allah dalam segala urusan.

3. Penjelasan tentang bahaya syirk dan akibatnya.

4. Balasan disesuaikan dengan jenis amalan.

5. Hasil dari sebuah sikap akan kembali kepada pelakunya.

**********

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku,

يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ، أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيءٌ

“Wahai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang setelahku. Oleh karena itu, sampaikanlah kepada manusia, bahwa barang siapa yang mengikat janggutnya, memakai kalung dari tali busur panah, beristinja dengan kotoran hewan atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya.”

**********

Penjelasan :

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/108-109 dan Abu Dawud no. 36 dan dishahihkan oleh Al Albani.

Ruwaifi’ bin Tsabit bin As Sakan bin Addiy bin Haritsah dari Bani Malik bin An Najjar. Ia singgah di Mesir dan diangkat sebagai gubernur oleh Mu’awiyah untuk wilayah Tharabulus di Syam pada tahun 46 H. Ia berhasil membuka benua Afrika pada tahun 47 H dan wafat di Barqah pada tahun 56 H.

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa Ruwaifi’ akan berumur panjang sehingga menemukan orang-orang yang menyelisihi petunjuk Beliau shallallahu alaihi wa sallam, yaitu mengikat janggut karena sombong, memakai kalung dari tali busur panah untuk menjaga diri dari penyakit ‘ain, dan beristinja dengan kotoran atau dengan tulang, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Ruwaifi untuk menyampaikan kepada manusia, bahwa Beliau berlepas diri dari orang-orang yang melakukan perbuatan itu. Hal ini menunjukkan haramnya melakukan perbuatan tersebut.

Kesimpulan :

1. Bukti kebenaran kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, karena Ruwaifi ternyata masih hidup hingga tahun 56 H.

2. Perintah menyampaikan kepada manusia perintah dan larangan dalam Islam.

3. Disyariatkan memuliakan janggut, yaitu dengan membiarkannya dan larangan menghabiskannya serta mengikatnya.

4. Larangan memakai kalung sebagai penangkal dari penyakit ‘ain.

5. Larangan beristinja dengan kotoran dan tulang.

6. Larangan yang disebutkan dalam hadits di atas merupakan dosa-dosa besar.

**********

Waki’ meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair ia berkata, “Barang siapa yang memutuskan tamimah (jimat) dari seseorang, maka ia seperti memerdekakan budak.

Waki’ juga meriwayatkan dari Ibrahim, bahwa mereka (kawan-kawan Abdullah bin Mas’ud) membenci semua macam tamimah baik berasal dari Al Qur’an maupun tidak.

**********

Perawi (periwayat) atsar di atas, yaitu Waki bin Jarrah adalah seorang imam yang tsiqah, hafizh, dan Ahli Ibadah dari kalangan Atba’u Tabi’in. Penulis banyak karya. Ia wafat pada tahun 197 H.

Adapun Ibrahim, maka maksudnya Ibrahim An Nakha’i seorang imam yang tsiqah dan termasuk fuqaha (Ahli Fiqh) dari kalangan tabi’in. ia wafat pada tahun 96 H.

Atsar di atas menjelaskan, bahwa orang yang melepaskan sesuatu yang dipakai seseorang sebagai jimat, maka ia akan memperoleh pahala seperti memerdekakan seorang budak, karena ketika seseorang memakai jimat pada hakikatnya sedang berhamba kepada setan dan menjadi budaknya, maka ketika ada seorang yang melepaskan jimat itu, maka ia sama saja melepaskan orang itu dari perbudakan kepada setan.

Ibrahim An Nakha’i menceritakan dari kawan-kawan Ibnu Mas’ud dan sebagian tabi’in utama, bahwa mereka melarang secara mutlak memakai jimat meskipun pada jimat itu tertulis sebagian ayat Al Qur’an untuk menutup jalan yang bisa menjurus kepada kemusyrikan.

Kesimpulan :

1. Keutamaan menyingkirkan jimat dari seseorang, karena hal tersebut termasuk menyingkirkan kemungkaran dan melepaskan manusia dari kemusyrikan.

2. Haramnya memakai tamimah (jimat) secara mutlak meskipun diambil dari ayat-ayat Al Qur’an sebagaimana dinyatakan oleh banyak para tabi’in.

3. Usaha keras kaum salaf untuk menjaga akidah mereka dari peyimpangan.

Bersambung...

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), dll.