بسم الله الرحمن الرحيم

38- أفعال الناس عند القبور وزيارتها ثلاث أنواع:

الأول: مشروع وهو زيارة القبور؛ لتذكر الآخرة، وللسلام على أهلها، والدعاء لهم .

الثاني: بدعي ينافي كمال التوحيد، وهو وسيلة من وسائل الشرك، وهو قصد عبادة الله تعالى والتقرب إليه عند القبور، أو قصد التبرك بها أو إهداء الثواب عندها، والبناء عليها، وتجصيصها وإسراجها، واتخاذها مساجد، وشد الرحال إليها، ونحو ذلك مما ثبت النهي عنه، أو مما لا أصل له في الشرع .

الثالث: شركي ينافي التوحيد، وهو صرف شيء من أنواع العبادة لصاحب القبر: كدعائه من دون الله، والاستعانة والاستغاثة به، والطواف، والذبح، والنذر له، ونحو ذلك .

39- الوسائل لها حكم المقاصد، وكل ذريعة إلى الشرك في عبادة الله أو الابتداع في الدين يجب سدها، فإن كل محدثة في الدين بدعة، وكل بدعة ضلالة .

38. Perbuatan yang dilakukan orang di kuburan dan ketika ziarah kubur ada tiga macam:
a. Masyru' (disyariatkan), yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat akhirat, untuk memberikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan mereka.

b. Bid'ah, tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid. Hal ini merupakan salah satu sarana berbuat syirik, misalnya ziarah ke kuburan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya di dekat kuburan, atau bertujuan untuk mendapat berkah, menghadiakan pahala kepada ahli kubur, membuat bangunan di atas kuburan, mengecatnya dan memberinya lampu penerang. Termasuk perbuatan bid'ah juga apabila menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan sengaja bepergian jauh untuk mengunjunginya (tour ziarah kubur). Masih banyak perbuatan lain yang dinyatakan telah terlarang dan tidak mempunyai dasar hukum dalam syariat.

c. Syirik bertentangan dengan tauhid, misalnya mempersembahkan salah satu macam ibadah kepada ahli kubur, seperti berdoa kepadanya sebagaimana layaknya kepada Allah, meminta bantuan dan pertolongannya, bertawaf di sekelilingnya, menyembelih kurban, bernazar untuknya, dan lain sebagainya.

39. Sesuatu yang menjadi wasa'il (sarana) dihukumi berdasarkan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana menuju syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi sarana menuju bid'ah dalam agama, maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (yang tidak ada dasarnya) dalam agama adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat. (Mujmal Ushul Ahlissunnah wal Jama’ah karya Dr. Nashir Al ‘Aql)

Syarh/Penjelasan:

No. 38: Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa ada tiga macam perbuatan yang dilakukan orang di kuburan:

Pertama, yang disyariatkan, yaitu ziarah yang maksudnya adalah mengingat akhirat, memberikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan mereka (namun tidak untuk penghuni kubur yang non muslim, lihat At Taubah: 113). Dalilnya adalah sbb:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ وَ تُدْمِعُ الْعَيْنَ وَ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ وَ لاَ تَقُوْلُواْ هُجْرًا

“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur. Ingatlah, sekarang ziarahilah, karena yang demikian dapat melembutkan hati, meneteskan air mata dan mengingatkan akhirat, dan janganlah kamu berkata-kata kotor.” (HR. Hakim, Shahihul Jaami’ no. 4584)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ziarah kubur pada awal Islam adalah karena masih barunya para sahabat lepas dari kekafiran, dikhawatirkan jika dibolehkan kepada mereka, maka mereka akan kembali berbuat syirk. Pada saat bekas-bekas Jahiliyah terhapus, Islam semakin kuat dan para sahabat semakin yakin dengan keimanan, maka Beliau membolehkannya.

Imam Al Manawiy berkata tentang sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Maka ziarahilah”, yakni dengan syarat tidak disertai perbuatan mengusap-usap kuburan, mencium, bersujud di atasnya, atau semisalnya, karena hal itu sebagaimana dikatakan As Subkiy adalah bid’ah munkar. Hanya orang-orang bodoh saja yang melakukannya (Lihat Faidhul Qadir pada syarah hadits no. 6430).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّ لَكُمْ فِيْهَا عِبْرَةً

“(Dahulu) aku melarang ziarah kubur. Sekarang ziarahilah, karena ada pelajaran untukmu di dalamnya.” (HR. Thabrani, Shahihul Jaami’ no. 6789)

Adapun dalil mendoakan penghuni kubur (bukan berdoa kepada mereka) adalah seperti dalam salam ketika ziarah kubur, di mana isinya adalah salam dan mendoakan ‘afiyat (keselamatan dari azab) untuk mereka. Imam Ash Shan’aniy berkata, “Maksud ziarah kubur adalah mendoakan mereka, berbuat ihsan untuk mreka, mengingat akhirat, dan agar bersikap zuhud terhadap dunia. Adapun yang diada-adakan oleh masyarakat awam yang menyalahi hal ini seperti berdoa kepada mayit, meminta pertolongan kepadanya, meminta kepada Allah dengan haknya, demikian pula meminta dipenuhi kebutuhan kepada Allah dengan perantaraannya, maka hal ini termasuk bid’ah dan kebodohan…dst.”

Kedua, yang bid’ah, seperti yang sudah disebutkan contohnya. Dalilnya adalah sbb:

Jabir radhiyallahu 'anhu berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنىَ عَلَيْهِ، [ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ ]،[ أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ]

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kuburan dikapuri, diduduki, dibuat bangunan di atasnya, dilebihkan tingginya (dari sejengkal) atau dituliskan nama di atasnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi dan ia menshahihkannya, Hakim, Baihaqi, dan Ahmad. Tambahan pertama dalam tanda kurung kurawal diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i. sedangkan tambahan kedua diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh Adz Dzahabi, lihat Ahkaamul Janaa’iz karya Syaikh Al Albani)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَاتَلَ اللهُ الْيَهُوْدَ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Hadits ini menunjukkan bahwa menjadikan kubur para nabi dan orang-orang saleh sebagai masjid merupakan dosa besar. Seorang ahli fiqh, bernama Ibnu Hajar Al Haitami berkata, “Keinginan seseorang untuk shalat di dekat kubur sambil mencari berkah darinya merupakan penentangan hakiki kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, berbuat bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Allah karena adanya larangan terhadapnya, dan berdasarkan ijma’. Hal itu, karena keharaman yang paling besar dan sebab terjadinya syirk adalah shalat di dekatnya, menjadikannya sebagai masjid, membuat bangunan di atasnya, pendapat yang mengatakan makruh maksudnya bukan yang ini, karena tidak mungkin ulama membolehkan perbuatan yang telah mutawatir dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terntang terlaknat pelakunya, demikian pula wajib segera dirobohkan, serta merobohkan kubah yang dibangun di atas kubur, karena ia lebih berbahaya daripada masjid Dhirar, karena ia didasari atas maksiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena Beliau melarang hal itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan merobohkan kubur yang meninggi, dan wajib hukumnya menyingkirkan lampu atau pelita di atas kubur, dan tidak sah mewaqafkannya dan melakukan nadzar terhadapnya.”

Abul Hayyaj Al Asadiy berkata, “Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku, “Maukah aku kirim engkau (untuk sesuatu) sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimku, “Yaitu engkau tidak membiarkan satu patung pun kecuali engkau hancurkan, dan engkau tidak membiarkan kubur yang meninggi kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda:

إِنَّ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّاعَةُ وَهُمْ اَحْيَاءٌ ، وَمَنْ يَتَّخِذُ الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ

“Sesungguhnya di antara manusia yang paling buruk adalah orang yang masih hidup ketika kiamat tiba dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Thabrani, Abu Ya’la, dll. Hadits ini dengan keseluruhannya adalah shahih, lihat Tahdziirussaajid karya Syaikh Al Albani)

Menurut Syaikh Al Albani dalam Tahdziirussaajid, ada tiga makna dari kata-kata “menjadikan kuburan sebagai masjid”:

  1. Shalat di atas kubur, yakni sujud di atasnya.
  2. Sujud menghadapnya dan menghadap ke kubur ketika shalat dan berdoa.
  3. Membangun masjid di atasnya dan bermaksud shalat di sana.

Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan, maksud, “menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah shalat (atau beribadah) di dekatnya meskipun tidak dibangunkan masjid di atasnya, karena setiap tempat yang diinginkan shalat di sana, maka sama saja menjadikannya masjid, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan alat bersuci.” (HR. Bukhari), dan jika dibangunkan masjid di atasnya, maka masalahnya lebih parah.” (lihat ‘Aqidatuttauhid karya Dr. Shalih Al Fauzan).

Haramnya Membangun Masjid di pekuburan

Ulama madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali sepakat haramnya membangun masjid di area pekuburan (lihat kitab Tahdziirussaajid karya Syaikh Al Albani). Sebagian ulama madzhab Hanbali bahkan berpendapat batalnya shalat di masjid yang dibangun di pekuburan dan wajibnya masjid tersebut dirobohkan. Ibnul Qayyim ketika menyebutkan fiqh dan fawa’id dari perang Tabuk dan setelah menyebutkan kisah Masjid Dhirar yang Allah melarang Nabi-Nya shalat di sana berkata, “Termasuk di antaranya membakar tempat-tempat maksiat yang di sana Allah dan Rasul-Nya didurhakai. Masjid yang dipakai shalat dan disebutkan di sana nama Allah, tetapi karena pembangunannya membahayakan dan memecah belah kaum mukmin serta sebagai tempat kaum munafik (maka dihancurkan). Setiap tempat yang seperti ini keadaannya, maka wajib bagi imam (pemerintah) melenyapkannya, baik dengan merobohkan, membakar, atau merubah bentuknya dan mengeluarkan sesuatu yang awalnya dibangun karenanya. Jika masjid Dhirar saja (diberlakukan) seperti ini, maka tempat-tempat kemusyrikan yang membawa para juru kuncinya menjadikannya sebagai tandingan selain Allah lebih berhak, dan lebih wajib dihancurkan. Demikian pula tempat-tempat maksiat dan kefasikan seperti kedai minuman keras, rumah-rumah penjual arak, dan tokoh kemungkaran. Oleh karena itu, Umar bin Khaththab membakar kampung secara menyeluruh karena di sana dijual-belikan khamr. Beliau juga membakar kedai milik Ruwaisyid Ats Tsaqafi, dan Beliau menamainya si fasik kecil. Beliau juga membakar istana (yakni pintunya) milik Sa’ad karena ia menutup diri dari rakyat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga hendak membakar rumah-rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jamaah dan jum’at[i], hanya karena di sana ada wanita dan anak-anak yang tidak wajib (shalat berjamaah) sehingga menghalangi Beliau melakukannya sebagaimana yang Beliau sebutkan[ii]. Demikian pula waqaf tidaklah sah jika bukan untuk kebaikan dan bukan untuk ibadah sebagaimana tidak sahnya mewaqafkan masjid tersebut. Oleh karena itu, masjid yang dibangun di atas kubur (harus) dirobohkan sebagaimana mayit yang dikubur di dalam masjid harus dibongkar seperti yang dinyatakan Imam Ahmad dan lainnya. Dengan demikian, dalam agama Islam masjid dengan kuburan tidaklah menyatu, bahkan jika salah satunya masuk, maka yang lain menghalangi. Dihukumi demikian adalah karena alasan yang sudah diterangkan sebelumnya. Sehingga, jika keduanya diletakan bersamaan, maka tidak boleh. Waqaf tersebut juga tidak sah dan tidak boleh, serta tidak sah shalat di masjid ini karena larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadapnya dan karena laknatnya terhadap orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, atau menyalakan lampu di sana[iii]. Inilah agama Islam yang dengannya Allah utus Rasul-Nya dan Nabi-Nya, namun asing di tengah masyarakat sebagaimana yang anda saksikan.”

Ketiga, yang syirk, yaitu mengarahkan satu macam ibadah kepada penghuni kubur. Seperti berdoa kepada penghuni kubur , menyembelih untuknya, berthawaf di sekelilingnya, dsb.

No. 39: Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menutup segala jalan yang bisa mengarah kepada syirk. Beliau melarang bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap para wali dan orang-orang salih, Beliau melarang mengadakan bangunan di atas kubur, melarang mengapuri kuburan, melarang shalat di dekat kubur, dsb.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ’alaa nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

 

Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah (Dr. Nashir Al ’Aql), Shahihul Jaami’ (Syaikh Al Albani), Ahkaamul Janaa’iz (Syaikh Al Albani), Syarah ’Aqidah Ahlussunnah (Ust. Yazid bin A.Q Jawas), Faidhul Qadir (Imam Al Manawiy), Tahdziirussaajid (Syaikh Al Albani), ’Aqidatuttauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), dll.

 

[i] HR. Bukhari dan Muslim

[ii] Namun hadits yang menyebutkan demikian menurut Syaikh Al Albani adalah dha’if, karena dalam sanadnya ada Abu Ma’syar Najih Al Madaniy karena buruknya hapalan, bahkan haditsnya juga menurutnya adalah munkar sebagaimana yang Beliau terangkan dalam Takhrij Al Misykaat (1073).

[iii] Namun hadits yang menyebutkan demikian adalah dha’if sebagaimana diterangkan Syaikh Al Albani dalam Adh Dha’iifah no. 225. Meskipun perbuatan tersebut dilarang pula berdasarkan keumuman.