Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang bulan Sya’ban, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Mengapa disebut Sya’ban?

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata“Disebut Sya’ban karena berpencarnya manusia dalam mencari air atau dalam melakukan penyerangan setelah berlalu bulan haram Rajab.” (Fathul Bari 4/213)

Ada yang berpendapat, bahwa disebut Sya’ban karena banyaknya kebaikan yang dicabangkan (dihubungkan) ke bulan Ramadhan. Akan tetapi dasarnya hadits yang dhaif.

Keutamaan bulan Sya’ban

Dalam hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Usamah tentang sebab mengapa Beliau banyak berpuasa di bulan Sya'ban, Beliau bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Ia (Sya'ban) adalah bulan yang dilalaikan orang; berada antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amal kepada Allah Rabbul ‘alamin. Aku ingin amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”  (HR. Nasa’i, dan dihasankan oleh Al Albani)

Ahli ilmu berpendapat, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil dianjurkannya mengisi waktu-watu yang biasa dilalaikan orang dengan ketaatan dan bahwa hal itu dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.”

Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah memperhatikan (dosa-dosa manusia) pada malam pertengahan bulan Sya’ban, lalu Dia mengampuni dosa semua manusia selain orang musyrik atau orang yang masih mengadakan permusuhan.” (Hr. Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)

Amalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Sya’ban

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ

"Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan. Aku juga tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti halnya pada bulan Sya’ban.”

Hadits di atas menunjukkan, bahwa amalan yang dilakukan pada bulan Sya’ban adalah dengan memperbanyak puasa, demikian pula menunjukkan bahwa puasa Sya’ban dilakukan dari bagian awal bulan, namun tidak setiap harinya. Hal itu karena ‘memperbanyak puasa tidak akan terwujud’ kecuali dengan memulainya dari bagian awal bulan Sya’ban, tidak pada bagian pertengahan atau akhirnya.

Ada hadits yang melarang berpuasa ketika bulan Sya’ban sudah di pertengahan (Hr. Abu Dawud dari Abu Hurairah). Sebagian ulama membawa larang tersebut kepada makruh yakni bagi yang memulainya dari pertengahan Sya’ban. Dan puasa Sya’ban menjadi haram dalam dua keadaan: (a) memulai puasa Sya’ban menjelang Ramadhan sehari atau dua hari sebelumnya (berdasarkan hadits Abu Hurairah), (b) hari yang masih meragukan (belum jelas apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau masih bulan Sya’ban, (berdasarkan haditts Ammar bin Yasir).

Hikmah puasa Sya’ban

Di antara hikmah puasa Sya’ban adalah agar kita masuk ke dalam bulan Ramadhan tanpa merasakan kepayahan dan merasa ringan menjalakan puasa Ramadhan karena sudah biasa berpuasa sebelumnya.

Keadaan kaum salaf

Salamah bin Kuhail berkata, “Bulan Sya’ban disebut juga bulan para pembaca Al Qur’an.”

Habib bin Abi Tsabit saat memasuki bulan Sya’ban berkata, “Ini adalah bulan para pembaca Al Qur’an.”

Amr bin Qais Al Mala’i saat memasuki bulan Sya’ban menutup tokonya dan fokus membaca Al Qur’an. (Latha’iful Ma’arif hal. 138)

Sebagian kaum salaf berkata, “Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman, sedangkan Ramadhan adalah bulan memetik hasilnya.” Maksudnya siapa saja yang mempersiapkan diri untuk menghadapi bulan Ramadhan dengan memohon kepada Allah taufik-nya dan membiasakan diri beramal saleh, maka dia akan mendapatkan taufik di bulan Ramadhan.

Amr bin Qais berkata, "Sungguh bahagia orang yang memperbaiki dirinya sebelum tiba bulan Ramadhan." (Latha'iful Ma'arif hal. 138)

Dua tabiin mulia yaitu Yahya bin Abi Katsir dan Makhul Asy Syami menjelang bulan Ramadhan berdoa,

اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ، وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِي، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا

"Ya Allah, jaga diriku hingga aku dapat memasuki bulan Ramadhan, jagalah bulan Ramadhan itu untukku (hingga aku tidak merusak puasa di bulan itu), dan terimalah dariku amal-amalku." (Hilyatul Auliya)

Adapun doa,  'Allahumma barik lana fii Rajab wa Sya'ban wa balighna Ramadhan' maka berasal dari hadits yang dhaif (riwayat Al Bazzar dan didhaifkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani).

Acara Nishfu Sya’ban

Pada bulan Sya’ban tidak ada peringatan Nisfu Sya’ban, baik dengan berpuasa di siang harinya maupun shalat di malamnya harinya. Hadits yang menyebutkan demikian adalah dhaif.

Imam Syaukani rahimahullah berkata dalam Al Fawaa’id Al Majmuu’ah, “Hadits yang menyebutkan, “Wahai Ali! Barang siapa shalat seratus rakaat pada malam Nishfu Sya’ban, dimana pada setiap rakaat ia membaca Al Fatihah dan Qulhuwalahu ahad sebanyak sepuluh kali, maka Allah akan memenuhi semua hajatnya,” adalah maudhu’ (palsu), dan dalam lafaznya yang tegas yang menyebutkan pahala yang akan diperoleh pelakunya terdapat sesuatu  yang menunjukkan palsunya yang tidak perlu diragukan lagi bagi orang yang mengerti, dan para perawinya juga majhul (tidak dikenal).”

Ia juga berkata dalam Al Mukhtashar, “Hadits shalat Nishfu Sya’ban adalah batil, sedangkan hadits Ibnu Hibban dari Ali yang menyebutkan,“Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka lakukanlah qiyamullailnya dan berpuasalah di siang harinya” adalah dha’if.

Al Hafizh Al ‘Iraaqiy berkata, “Hadits shalat malam Nishfu Sya’ban adalah palsu mengatasnamakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dusta.”

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Mengkhususkan puasa pada pertengahan bulan Sya’ban adalah makruh; tidak ada dalilnya.” (Majmu Fatawa 10/385)

Ia juga berkata, “Riwayat yang menyebutkan keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban semuanya maudhu (palsu).” (Majmu Fatawa1/186).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang benar, bahwa puasa Nishfu Sya’ban atau mengkhususkan hari itu dengan membaca Al Quran atau dzikir tertentu tidak ada dasarnya. Pertengahan bulan Sya’ban adalah seperti pertengahan bulan lainnya.” (Majmu Fatawa (20-23))

Ia juga berkata, “Melakukan qiyamullail pada malam Nishfu Sya’ban ada beberapa tingkatan:

Pertama, seseorang mempunyai kebiasaan shalat malam, dan pada malam nishfu Sya’ban ia lakukan shalat malam seperti pada malam lainnya tanpa mengkhususkannya dengan menambahkan amalan, maka hal ini tidak mengapa.

Kedua, ia melakukan shalat malam pada pertengahan bulan Sya’ban tidak pada malam hari lainnya, maka ini bid’ah.

Ketiga, melakukan shalat dalam jumlah tertentu yang ia rutin lakukan pada setiap tahunnya, maka tingkatan ini lebih bid’ah lagi daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari Sunnah.” (Majmu Fatawa 28/20-30).

Apakah takdir ditetapkan pada malam Nishfu Sya’ban?

Maksudnya apakah pada malam itu ditetapkan takdir yang akan terjadi dalam setahun seperti rezeki, amal, dsb.?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak. Karena malam itu bukan malam Lailatul Qadr, sedangkan malam Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman, “Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr,” yakni seseungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada malam Lailatul Qadr.” (Dari situs Fatawal Ulama).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Menyambut Bulan Sya’ban(Penulis), dll.