بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini risalah tentang I'tikaf dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Ta'rif (Definisi) I'tikaf

I'tikaf secara bahasa artinya berdiam di sebuah tempat. Adapun secara istilah, I'tikaf artinya menetap di masjid untuk ketaatan kepada Allah 'Azza wa Jalla atau berdiam di masjid dengan niat beribadah.

Hikmah dari disyariatkan I'tikaf adalah agar seseorang lebih fokus beribadah, sibuk dengan akhirat setelah sebelumnya sibuk dengan urusan dunia.

Hukum dan Dalil disyariatkan I'tikaf

I'tikaf hukumnya sunnah, baik di bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Dasarnya adalah firman Allah Ta'ala:

أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Al-Baqarah: 125)

وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS. Al-Baqarah: 187)

Dan anjuran I'tikaf ini lebih ditekankan lagi di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ العَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan I'tikaf selama sepuluh hari bulan Ramadhan. Dan pada tahun Beliau diwafatkan, maka Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari." (HR. Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam keduaShahihnya)

Waktu yang paling utama untuk I'tikaf di bulan Ramadhan adalah pada sepuluh hari terakhirnya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah Azza wa Jalla mewafatkannya. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ»

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan." (HR. Muslim)

Kaum muslim juga sepakat tentang disyariatkannya I'tikaf, dan bahwa hukumnya sunat, kecuali jika seseorang mewajibkan dirinya untuk I'tikaf seperti bernadzar untuknya, maka hukumnya wajib.

Adakah Hadits tentang Keutamaan I'tikaf?

I'tikaf meskipun sebagai ibadah yang utama, namun tidak ada hadits shahih yang menyebutkan dengan tegas keutamaannya.

Imam Abu Dawud pernah berkata kepada Imam Ahmad, "Apakah engkau mengetahui (hadits) tentang keutamaan I'tikaf?" Ia menjawab, "Tidak, selain hadits yang dha'if."

Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkannya, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya, demikian juga istri-istri Beliau, dan para sahabatnya.

Pembagian I'tikaf

I'tikaf terbagi dua; yang sunat dan yang wajibYang sunat adalah I'tikaf yang dilakukan seorang muslim secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari pahala-Nya, dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang wajib adalah I'tikaf yang diwajibkan oleh seseorang untuk dirinya sendiri, seperti dengan bernadzar.

Syarat Sahnya I'tikaf

Syarat sahnya I'tikaf adalah:

  1. Berniat di hati untuk I'tikaf.
  2. Muslim, berakal, dan sudah tamyiz (mampu membedakan). Oleh karena itu, tidak sah I'tikaf dari orang kafir, orang gila, dan anak-anak yang belum tamyiz. Adapun baligh dan laki-laki, maka tidak menjadi syarat, sehingga sah I'tikaf dari yang belum baligh jika ia sudah tamyiz, dan sah pula dari wanita.
  3. Suci dari hadats besar (haidh, nifas, dan junub). Hal itu, karena orang-orang tadi tidak boleh menetap di masjid. Hal ini berdasarkan hadits Ummu 'Athiyyah berikut, ia berkata, "Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan (ke lapangan shalat Ied) para gadis dan wanita yang dipingit, namun wanita haidh menyingkir dari tempat shalat." (HR. Bukhari)
  4. Dilakukan di masjid.

Para ulama berbeda pendapat tentang syarat masjid yang boleh dilakukan I'tikaf.

Pendapat pertama, bahwa masjidnya harus masjidu jamaah, yakni masjid yang dilakukan shalat berjamaah di dalamnya. Ini adalah pendapat mayoritas para tabi'in.

Pendapat kedua, bahwa I'tikaf bisa dilakukan di setiap masjid. Ini adalah pendapat ulama madzhab Maliki dan Syafi'I, baik di masjid itu ditegakkan shalat berjamaah maupun tidak, akan tetapi mereka mengecualikan masjid yang ada di rumah, maka tidak sah melakukan I'tikaf di sana.

Pendapat ketiga, bahwa I'tikaf harus dilakukan di masjid jami'. Ini adalah pendapat Hammad, Al Hakam, Abu Ja'far Muhammad bin Ali, dan dipilih oleh Ash Shan'ani. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Dan I'tikaf tidak dilakukan kecuali di masjid jami'."

Pendapat keempat, bahwa masjid untuk I'tikaf hanya tiga masjid saja, yaitu Masjidil haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Dalilnya hadits berikut,

لاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ

"Tidak ada I'tikaf selain di tiga masjid." (HR. Thahawi, Al isma'iliy, dan Baihaqi dengan isnad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, lihat Ash Shahiihah no 2786)

Pendapat di atas dipegang oleh Sa'id bin Al Musayyib dan Atha'.  Atha' berkata, "Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid Makkah (Masjidil haram) dan Madinah (Masjid Nabawi)."

Namun ada yang berpendapat, bahwa hadits, "Tidak ada I'tikaf selain di tiga masjid," maksudnya bukan tidak sah, tetapi tidak sempurna I'tikaf kecuali di tiga masjid tersebut.

Pendapat yang rajih insya Allah adalah, bahwa tempat I'tikaf bagi laki-laki adalah setiap masjid yang ditegakkan shalat berjamaah di sana. Ibnu Abbas berkata, "Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid yang di sana dilakukan shalat berjamaah." (Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Masaa'ilnya dari ayahnya 2/637 dengan sanad yang sampai kepada Ibnu Abbas, danisnadnya shahih).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Dan I'tikaf harus di masjid yang di sana dilakukan shalat berjamaah. Namun lebih utama di masjid Jami' (yang dilakukan shalat Jum'at pula) agar ia tidak perlu keluar dari masjid untuk shalat Jum'at."

Sedangkan bagi wanita, maka I'tikaf yang dilakukannya sah di setiap masjid meskipun tidak dilakukan shalat berjamaah di sana, selain masjid di rumahnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Ibnu Abbas berkata,

إِنَّ أَبْغَضَ الْأُمُوْرِ إِلَى اللهِ الْبِدَعُ، وَإِنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْاِعْتِكَافُ فِي الْمَسَاجِدِ الَّتِي فِي الدُّوْرِ

"Sesungguhnya perkara yang paling dibenci Allah adalah bid'ah, dan termasuk bid'ah adalah beri'tikaf di masjid rumah." (Diriwayatkan oleh Baihaqi 4/316 dan isnadnya shahih)

Tentunya, I'tikaf bagi wanita jika tidak menimbulkan fitnah. Jika menimbulkan fitnah, maka dicegah.

Dan sunnahnya, bagi orang yang beri'tikaf adalah melakukan puasa sebagaimana yang dikatakan Aisyah radhiyallahu 'anha. Ia berkata,

اَلسُّنَّةُ عَلَى اَلْمُعْتَكِفِ أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا, وَلَا يَشْهَدَ جِنَازَةً, وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً, وَلَا يُبَاشِرَهَا, وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ, إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ, وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا بِصَوْمٍ وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ

"Sunnahnya bagi seorang yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang yang sakit, tidak menghadiri jenazah, tidak menyentuh istri, tidak memeluknya dan tidak keluar (dari masjid) kecuali karena suatu keperluan yang mendesak, dan tidak ada I’tikaf kecuali dengan berpuasa serta tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami’.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan para perawinya tidak mengapa)[i].

Namun puasa tidak menjadi syarat I'tikaf. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, “Tidak ada kewajiban bagi orang yang beri’tikaf untuk berpuasa, kecuali jika ia wajibkan kepada dirinya.” (Diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim).

Demikian juga berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar di masa Jahiliyyah untuk beri'tikaf semalaman di Masjidilharam," maka Beliau bersabda, "Penuhilah nadzarmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau sekiranya puasa menjadi syarat sahnya I'tikaf, maka tidak akan sah I'tikaf Umar di malam hari, karena ia tidak berpuasa di dalamnya.

Rukun I'tikaf

Hakikat I'tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Oleh karena itu, jika tidak terwujud berdiam di masjid atau tidak ada niat untuk beribadah, maka tidak sah I'tikafnya.

Lamanya I'tikaf

Ada khilaf di kalangan Ahli Ilmu tentang minimal waktu lamanya I'tikaf, namun pendapat yang shahih –insya Allah- adalah bahwa tidak ada waktu minimal lamanya I'tikaf sehingga sah meskipun sebentar, dan seseorang akan mendapat pahala ketika tetap berada di masjid. Ketika ia keluar, ia memperbarui niat lagi jika ingin I'tikaf. Ya'la bin Umayyah berkata, "Sesungguhnya aku berdiam di masjid sesaat tidak lain untuk tujuan I'tikaf."

Meskipun demikian, lebih utama tidak kurang dari sehari-semalam, karena tidak ada nukilan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya I'tikaf yang kurang dari itu.

Dan bagi orang yang I'tikaf boleh memutuskan I'tikafnya kapan saja meskipun belum habis waktu I'tikaf yang ia niatkan. Dalilnya adalah hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan I'tikafnya ketika istri-istrinya ikut I'tikaf di masjid.

Permulaan I'tikaf

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata,  "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila ingin I'tikaf, maka Beliau shalat Subuh, kemudian masuk ke tempat I'tikafnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini, bahwa awal waktu I'tikaf adalah pada awal siang, dan inilah pendapat yang dipegang oleh Al Auza'iy, Al Laits, dan Ats Tsauriy. Namun menurut Imam yang empat dan sebagian ulama, bahwa seseorang masuk I'tikaf menjelang Maghrib (malam tanggal 20 atau 21 Ramadhan). Mereka mentakwil hadits di atas dengan mengatakan, bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam masuk I'tikaf di awal malam, tetapi menyendiri di tempat yang telah Beliau siapkan untuk I'tikaf setelah shalat Subuh, wallahu 'alam.

Akhir I'tikaf

I'tikaf berakhir dengan tenggelamnya matahari akhir bulan Ramadhan, dan karena bulan Ramadhan berakhir dengan tenggelamnya matahari di akhir hari puasanya. Oleh karena itu, apabila seseorang keluar dari masjid setelah tenggelam matahari di akhir bulan Ramadhan, maka ia dianggap sudah beri'tikaf. Meskipun begitu tidak mengapa baginya tetap berada di masjid pada malam Idul Fitri dan berangkat ke lapangan dari masjid karena kaum salaf ada yang melakukannya.

Bersambung…

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Maktabah Syamilah, Nailul Awthar (Imam Syaukani), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Risalah Qiyam Ramadhan (Syaikh Al Albani), Majalis Syahri Ramadhan (Syaikh Ibnu Utsaimin), Risalah I'tikaf (dikumpulkan oleh Ust. Mas'ud Mahmud, Lc). 



[i] Al Khaththabiy berkata, "Sebagian ulama berpendapat, bahwa orang yang I'tikaf berhak menghadiri shalat Jum'at, menjenguk orang sakit, dan menghadiri jenazah. Telah diriwayatkan demikian dari Ali radhiyallahu 'anhu, dan ini adalah pendapat Sa'id bin Jubair, Al Hasan Al Bashri, dan An Nakha'i." Sebagian ulama ada yang menakwil perkataan Aisyah, "Sunnahnya bagi seorang yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit," dengan mengatakan, bahwa ia tidak boleh keluar dari tempat I'tikafnya dengan tujuan menjenguknya, dan tidak mengapa melaluinya lalu menanyakan tanpa berdiam di sana, wallahu 'alam.