بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'd:

Berikut ini pembahasan tentang fiqh su’ur dan awani. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

A. Fiqh Su’ur

Yang dimaksud su’ur adalah,

مَا بَقِيَ فِي اْلِانَاءِ بَعْدَ الشُّرْبِ

“Sisa yang ada dalam wadah atau gelas setelah diminum.”

Su’ur ada beberapa macamnya,

1. Su’ur manusia,

Su’ur ini adalah suci baik su’ur muslim maupun su’ur orang kafir, demikian pula su’ur orang junub maupun su’ur orang haidh, adapun maksud firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. “ (Terj. QS. At Taubah: 28)

Maksud najis di sini adalah najis maknawi, yakni mereka dikatakan najis karena akidah mereka yang batil dan enggannya mereka melepaskan diri dari kotoran dan najis. Bukan maksudnya diri dan badan mereka itu najis, bukankah mereka terkadang bergaul dengan kaum muslimin, utusan-utusan mereka datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan masuk ke masjidnya, namun Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh untuk mencuci bagian yang tersentuh oleh badan mereka. Tentang sucinya su’ur manusia disebutkan dalam hadits berikut bahwa Aisyah mengatakan,

كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ ، فَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ

“Aku pernah minum, ketika itu aku sedang haidh, lalu aku berikan minuman itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau pun menaruh mulutnya di tempat mulutku menaruh.” (HR. Muslim)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجِسُ

“Orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Muslim)

2. Su’ur binatang yang boleh dimakan dagingnya.

Su’ur ini juga suci, karena air liurnya berasal dari dagingnya yang suci, maka hukum air liurnya juga suci. Disebutkan dalam hadits ‘Amr bin Khaarijah, ia berkata,

خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى, وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ, وَلُعَابُهَا يَسِيلُ عَلَى كَتِفَيَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami di Mina, ketika itu Beliau berada di atas untanya, air liur untanya mengalir di atas bahuku.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, ia  menshahihkannya, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam hadits ini terdapat dalil sucinya air liur binatang yang boleh dimakan dagingnya. Ibnul Mundzir berkata, “Ahli ilmu sepakat bahwa su’ur binatang yang boleh dimakan dagingnya boleh diminum dan dipakai wudhu’.”

3. Su’ur bighal (binatang yang lahir dari perkawinan keledai dan kuda), dan himar (keledai).

Su’ur ini juga suci.

4. Su’ur kucing,

Sucinya su’ur kucing berdasarkan hadits Kabsyah binti Ka’ab berikut,

عَن كَبْشَةَ بِنتِ كَعْبٍ بنِ مَالِكٍ، وَكَانَتْ عِندَ ابنِ أَبي قَتَادَةَ أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيهَا، قَالَتْ: فَسَكَبتُ لَهُ وَضوُءاً، قَالَتْ: فَجَاءَتْ هِرَّةٌ تَشْرَبُ، فَأَصْغَى لَهَا الإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ، قَالَتْ كَبْشَةُ: فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيهِ! فَقَالَ: أَتَعْجَبِينَ يَا بِنتَ أَخِي؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَوَّافِينَ عَلَيكُمْ أَوِ الطَّوَّافَاتِ".

Dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik –Ia adalah istri putera Abu Qatadah-, bahwa Abu Qatadah pernah masuk menemuinya, Kabsyah berkata, “Lalu aku menuangkan kepadanya air wudhu, kemudian datang seekor kucing hendak meminum airnya, lalu Abu Qatadah memiringkan (wadah air wudhu’) sehingga kucing itu bisa meminumnya, Kabsyah kemudian berkata, “Abu Qatadah lalu melihatku karena aku memperhatikannya, ia berkata, “Apa kamu heran, wahai puteri saudaraku?” Aku menjawab, “Ya”, ia pun berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia termasuk binatang yang biasa mengelilingimu.” (HR. Lima orang Ahli Hadits, Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan shahih", dishahihkan oleh Bukhari dan yang lainnya).

5. Su’ur anjing dan babi,

Su’ur ini adalah najis; wajib dijauhi. Najisnya su’ur anjing adalah berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَرِبَ اْلكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا

“Apabila seekor anjing minum di bejana milik salah seorang di antara kamu, maka cucilah bejana itu tujuh kali.”

Dalam riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan,

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذْ وَلَغَ فِيهِ اَلْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ, أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Sucinya bejana salah seorang di antara kamu apabila dijilati anjing adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan yang pertama (dicampur) dengan tanah.”

Sedangkan najisnya su’ur babi adalah karena kotornya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Sesungguhnya ia adalah kotor.” (QS. Al An’aam: 145).

Faedah:

Penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar berkata, “Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya seperti hewan buas, keledai negeri, dan sebagainya, maka yang shahih adalah bahwa su’urnya suci, tidak berpengaruh apa-apa bagi air, apalagi jika airnya banyak. Tetapi jika airnya sedikit, dan berubah ketika diminum olehnya, maka menjadi najis.”

Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang air yang didatangi hewan dan binatang buas, Beliau bersabda,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air itu ada dua qullah[i], maka tidak mengandung najis.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Di samping itu, kita sulit menjaga diri darinya. Jika kita mengatakan najis su’urnya dan harus dicuci bendanya, tentu hal itu akan menyulitkan, sedangkan kesulitan diangkat dari umat ini.

B. Fiqh Awani

Awani adalah bentuk jamak dari aniyah, yang artinya wadah tempat menaruh air dan lainnya, baik terbuat dari besi maupun lainnya. Hukum asalnya adalah mubah, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (Terj. QS. Al Baqarah: 29)

Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang masalah awani, yaitu:

Pertama, boleh menggunakan semua awani untuk makan, minum, dan penggunaan lainnya jika suci dan mubah meskipun awani itu berharga. Hal itu, karena hukum asalnya mubah selain awani emas dan perak, maka haram makan dan minum menggunakan keduanya, tidak untuk pemakaian yang lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ والْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ

“Janganlah kamu minum dengan bejana emas dan perak, juga jangan makan dengan piring yang terbuat dari keduanya (emas dan perak), karena keduanya buat mereka (orang-orang kafir) di dunia sedang di akhirat buat kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah bin Al Yaman)

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang yang minum dengan bejana perak, sebenarnya ia menuangkan ke dalam perutnya api neraka Jahannam.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah)

Nash ini menunjukkan larangan makan dan minum dengan wadah emas dan perak, namun tidak pada penggunaan lainnya. Oleh karena itu, boleh menggunakan wadah itu untuk bersuci. Larangan makan dan minum dengan wadah emas dan perak adalah umum, baik emas dan perak murni, maupun yang disepuh dengan emas dan perak, atau di dalamnya terdapat sedikit emas dan perak.

Kedua, jika ada wadah yang terbelah, lalu disambung dengan emas, maka wadah itu haram dipakai, karena masuk ke dalam keumuman nash di atas, tetapi jika sambungannya dari perak dan ringan, maka boleh dipakai. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Gelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pecah, lalu Beliau menambal bagian yang pecah dengan sambungan dari perak.” (HR. Bukhari)

Ketiga, pada dasarnya bejana atau wadah orang-orang kafir adalah halal, kecuali jika diketahui najisnya, maka tidak boleh digunakan kecuali setelah dicuci. Hal ini berdasarkan hadits Abu Tsa’labah Al Khusyanni ia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di negeri Ahli Kitab. Bolehkah, kami makan dengan bejana mereka?” Beliau menjawab,

لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا

“Jangan kamu makan dengannya, kecuali jika kamu tidak menemukan selainnya, tetapi cucilah, lalu makan dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tetapi jika tidak diketahui najisnya, dalam arti penduduknya tidak diketahui biasa memakai barang yang najis, maka boleh dipakai, karena telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, bahwa mereka pernah mengambil air wudhu dari wadah milik wanita musyrikah (HR. Bukhari no. 344 dan Muslim no. 682). Di samping itu, Allah Subhaanahu wa Ta’ala menghalalkan untuk kita makanan Ahli Kitab, dan terkadang mereka memberikan kepada kita dengan wadah-wadahnya sebagaiman seorang budak Yahudi mengajak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam makan roti sya’ir (semacam gandum) dan lemak yang sudah berubah baunya, lalu Beliau makan (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa (1/71)).

Keempat, kulit bangkai ketika telah disamak, maka menjadi suci dan boleh dipakai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Apabila sebuah kulit disamak maka jadilah suci.” (HR. Muslim)

Hal ini apabila bangkai tersebut dari hewan yang halal disembelih/dimakan. Jika bukan, maka tidak boleh. Oleh karena itu, kulit hewan yang tidak boleh dimakan tidaklah suci ketika disamak, meskipun ketika masih hidup tetap suci. Dan rambut dari bangkai tersebut juga suci, adapun dagingnya najis dan haram dimakan (Lihat QS. Al An’aam: 45).

Penyamakan bisa dilakukan dengan membersihkan kotorannya yang ada pada kulit dengan barang-barang tertentu ditambah dengan air, seperti garam[ii], tumbuhan tertentu seperti qarazh (daun pohon salam), dsb. (Diringkas dari kitab Al Fiqhul Muyyasar pada pembahasan aniyah).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama, KSA), Subulussalam (Ash Shan’ani), Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Mulakhkhashat Al Fiqhiyyah Al Muyassarah (Dr. Imad Ali Jum’ah), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

 

[i] Dua qullah kurang lebih 200-220 liter (Al Mulakhkhashat Al Fiqhiyyah Al Muyassarah Dr. Imad Ali Jum’ah).

[ii] Dalam Syarh Muslim disebutkan, "Menyamak itu boleh menggunakan sesuatu yang bisa mengeringkan sisa yang menempel di kulit bangkai, membuat wangi dan bisa menghalanginya dari kerusakan seperti dengan syats (sejenis tumbuhan yang wangi dan pahit rasanya), qarazh (daun salam), kulit delima dan lainnya (seperti sabun), tidak bisa hanya dengan dijemur –kecuali menurut ulama madzhab Hanafi-, tidak juga dengan tanah, debu dan garam menurut pendapat yang lebih shahih."