Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini lanjutan syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.

Masalah fiqh yang berkaitan dengan niat[i]

     1. Ishtish-haabun niyyah (menempelnya niat)

Apa maksud istish-haabun niyyah? Jawab: “Ishthish-haab secara bahasa artinya menemani (mulaazamah), sedangkan menurut fuqaha adalah, “Menempelnya niat dalam suatu amal dari awal sampai selesai.” Istish-habun niyyah itu terbagi dua: Ishthish-hab dzikr dan Ishthish-hab hukm.

Ishthish-hab dzikr misalnya seorang yang beribadah tetap terus menghadirkan niatnya dari awal ibadahnya hingga selesai.

Lalu apakah hal ini wajib? Jawab, “Tidak. Tidak wajib menghadirkan niat dari awal sampai selesai karena akan membuat kesulitan orang yang beribadah, juga karena seseorang tidak mampu untuk tidak memikirkan hal lain ketika beribadah. Oleh karena itu, dianjurkan saja untuk menghadirkan niat dari awal sampai selesai namun tidak wajib.

Sedangkan ishthish-hab hukm yaitu seseorang berniat untuk memasuki suatu ibadah dan tidak memutuskannya (membatalkannya), atau mengerjakan hal yang bertentangan dengan yang diniatkannya, istish-hab hukum ini adalah syarat sahnya amal. Oleh karena itu, ia wajib melakukan hal itu dari awal sampai selesai (yakni tidak berniat melakukan ibadah yang lain). Misalnya seseorang ingin shalat, ketika ia bertakbir dan masuk ke dalam shalat, ia tidak boleh berniat untuk memutuskan (membatalkan) shalatnya, apabila ia berniat untuk memutuskan shalatnya maka batallah shalatnya itu. Contoh lain adalah seseorang yang berpuasa niatnya untuk beribadah kepada Allah Tabaraka wa Ta'aala, lalu ia niatkan untuk memutuskan puasanya, maka puasanya batal karena putusnya niat (tidak ishthish-hab hukm).

    2. Memutuskan niat dalam ibadah-ibadah berikut :

      a.Shalat.

Apabila seseorang berniat untuk keluar dari shalat dengan memutuskan niatnya (seperti dengan berniat melakukan hal yang lain) maka shalatnya batal sesuai kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh As Suyuuthiy dan lain-lain.

     b.Puasa.

Apabila seseorang berniat keluar dari puasa maka batallah puasanya menurut pendapat yang rajih dari pendapat Ahli Ilmu dan pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama karena niat itu syarat dalam puasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, apabila diputuskan di tengah-tengahnya  (dengan berniat buka) sehingga sisa puasanya tidak di atas niat maka maka batal puasanya itu. Jika batal sebagiannya maka seluruhnya (dari terbit fajar sampai tenggelam matahari) ikut batal.

    c. Nusuk (ibadah Hajji atau Umrah).

Apabila seseorang berniat keluar dari nusuknya setelah memulai maka ia tidak boleh keluar dari nusuknya kecuali setelah ditunaikan nusuknya itu atau dengan bertahallul karena ih-shaar (terhalang), inilah yang dipegang jumhur ulama dan sebagai pendapat yang rajih menurut kebanyakan Ahli Ilmu, berdasarkan dalil “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” (artinya: sempurnakan hajji dan umrah karena Allah)[ii]. Asy Sya’biy dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud ‘sempurnakanlah’ adalah sempurnakanlah hajji dan umrah setelah memulai masuk ke dalamnya (ihram), karena siapa saja yang sudah berihram untuk nusuk (naik hajji atau umrah) ia wajib meneruskan dan tidak boleh dibatalkan.”

    3. Qalbun niyyah (mengubah niat dari ibadah yang satu ke ibadah yang lain).

Kapankah seseorang boleh qalbun niyyah?

Jawab: Seseorang boleh qalbun niyyah karena ada maslahat syar’i. Misalnya;

      a. Dalam shalat

          1.Seseorang bertakbir dalam shalat fardhu dengan perkiraan bahwa waktunya sudah masuk, lalu ternyata belum masuk, maka ia boleh mengubah niatnya dari shalat fardhu ke shalat sunnah.

          2.Seseorang bertakbir untuk shalat sendiri, kemudian ada shalat jamaah yang ditegakkan, maka menurut pendapat yang shahih dari pendapat ahli ilmu adalah ia mengubah niat shalat fardhu sendiri menjadi shalat sunnah, lalu ia menyempurnakan shalat sunnahnya itu, kemudian ikut shalat berjamaah.

      b. Dalam hajji

Seseorang berihram (berniat) hajji ifrad (hajji saja) atau qiran (menggabung antara hajji dengan umrah) namun tidak membawa hady (binatang sembelihan), iapun kemudian mengubah niatnya ke hajji tamattu’ maka ini boleh bahkan mustahab (dianjurkan), karena tamattu’ (mendahulukan umrah baru hajji) lebih utama daripada hajji qiran.

   4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan niat menjadi imam dan makmum

      a. Hukum niat menjadi imam

Pendapat yang rajih dan shahih dari pendapat Ahli Ilmu adalah bahwa niat menjadi imam itu bukanlah syarat sah shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Misalnya seorang shalat zhuhur sendiri lalu datang orang lain ikut shalat bersamanya sebagai ma’mum maka shalatnya insya Allah adalah sah. Contoh yang lain adalah seorang shalat sunnah lalu ada orang lain yang ikut shalat bersamanya, maka boleh bagi orang lain untuk berma’mum kepadanya dan ikut shalat bersamanya meskipun ia berniat di awal shalatnya sendiri.

      b. Lalu apa hukum berniat menjadi ma’mum? Jawab: Imam madzhab yang empat sepakat bahwa bagi seseorang kalau hendak berma’mum harus berniat sebelum memasuki shalat.

Mengapa ma’mum harus berniat berma’mum sebelum memasuki shalat bersama imam? Jawabnya, “Karena berniat untuk mengikuti adalah perbuatan lebih dari niat shalat sendiri, perbuatan lebih itu adalah mutaaba’ah (mengikuti imam), juga karena ma’mum tidak melakukan perbuatan shalat kecuali setelah dipimpin imam, oleh karenanya butuh berniat.”

     c. Apa hukum orang yang melakukan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang melakukan shalat sunnah? Jawab: Hukumnya adalah boleh, sebagaimana Mu’adz bin Jabal setelah shalat Isya di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu ia shalat lagi mengimami kaumnya (sebagaimana dalam riwayat Muslim), shalat yang kedua yang dilakukan Mu’adz adalah sunnah sedangkan kaumnya melakukan shalat fardhu di belakangnya.

     d. Orang yang shalat fardhu bermakmum di belakang orang yang shalat fardhu.

Apabila seorang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu, maka makmum yang shalat fardhu di belakangnya ada tiga keadaan :

 1. Zhahir dan bathin keduanya (imam dan makmum) sama.

 2. Zhahir keduanya sama (seperti gerakannya) sedangkan bathin keduanya berbeda.

 3. Zhahir dan bathinnya berbeda.

Zhahir di sini maksudnya adalah hai-ah/sifat (praktek atau gerakan shalat), sedangkan bathin maksudnya adalah niatnya.

Contoh no. 1 adalah imam shalat ‘Ashar dan makmum juga shalat ‘Ashar maka keduanya; zhahir dan bathinnya sama.

Contoh no. 2 adalah imam shalat ‘Ashar sedangkan makmum shalat Zhuhur, ini maksud zhahirnya sama namun bathin (niatnya) berbeda.

Contoh no. 3 imam shalat ‘Isya sedangkan makmum shalat Maghrib, inilah yang dimaksud berbeda zhahir dan bathin.

Contoh no. 1 sudah sama-sama kita ketahui hukumnya dengan jelas, lalu bagaimana dengan no. 2 dan 3?

Jawab: No. 2 dan 3 ini ada ikhtilaf di kalangan Ahli Ilmu, yang shahih dan rajih di antara pendapat itu adalah untuk no. 2 itu boleh dilakukan meskipun imam dan makmum berbeda bathinnya (niatnya) berdasarkan hadits yang lalu. Adapun no. 3 tidak boleh dilakukan karena imam itu dijadikan untuk diikuti.

Namun Syaikh Ibnu Baz dalam masalah ini berpendapat ketika ia ditanya sbb.[iii]:

“Terkadang ketika menjama’ antara  Maghrib dan ‘Isya karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu imam melakukan shalat ‘Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib, lalu apa sikap yang harus mereka lakukan?”

Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahhud dan doa lalu melakukan salam bersama imam[iv]. Kemudian mereka melakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk mencapai keutamaan jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu wajib…dst.”.

   1. Shalat sunat dengan niat lebih dari satu hukumnya boleh, misalnya seseorang shalat sunat dengan niat shalat sunat wudhu’, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunat rawatib Zhuhur, maka tidak mengapa, namun lebih utama dipisah. Adapun untuk shalat fardhu, maka tidak bisa sambil berniat shalat sunat.

   2. Shalat orang yang mukim di belakang musafir, apa hukumnya? Jawab: “Para fuqaha sepakat bolehnya orang yang mukim berma’mum kepada yang musafir sebagaimana dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila datang ke Makkah, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan orang-orang sebanyak 2 rak’at (diqashar), setelah selesai Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ * (مالك)

“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian karena kami orang yang sedang safar.” (HR. Malik)

Catatan: Seorang musafir jika sebagai imam mengimami orang-orang yang mukim hendaknya setelah shalat memberitahukan kepada ma’mumnya agar menyempurnakan shalatnya.

  • Apa hukum shalat orang musafir di belakang orang yang mukim?

Jawab, “Para fuqaha sepakat bolehnya musafir bermakmum kepada yang mukim, caranya si musafir ikut shalat 4 rakaat dengan yang mukim, karena makmum diperintahkan mengikuti imam.” Hal ini sebagaimana dalam riwayat Ahmad bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya oleh Musa bin Salamah,

إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ * (احمد)

“Kami jika bersama kamu melakukan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah, kami melakukan dua rakaat?” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah Sunnah Abil Qaasim (sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Wallahu a'lam wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji': Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur'ani was Sunnah), Untaian Mutiara Hadits (Penulis), dll.

 

[i] Pembahasan ini banyak merujuk kepada kutaib "Mabaahits fin niyyah" oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Al 'Ulyawiy.

[ii] QS. Al Baqarah : 196

[iii] Fatawa muhimmah tata’allaq bish shalaah hal. 96.

[iv] Mungkin Syaikh Ibnu Baz mengqiaskan dengan shalat khauf –wallahu a’lam-..