Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui sebelum belajar fiqih, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

  1. Madrasah Atsar (riwayat) dan Madrasah Ra’yu (Pendapat)

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, maka para sahabat tersebar di berbagai negeri menyebarkan fiqih dan hukum-hukum syariat, serta mengajarkan masalah agama ke tengah-tengah manusia sebagaimana yang mereka terima dan dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Di Madinah tersebar fiqih Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar, di Mekkah tersebar fiqih Ibnu Abbas, sedangkan di Irak tersebar fiqih Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhum.

Sebagian negeri mendapatkan kemulian dengan keberadaan sebagian sahabat, namun Mekkah dan Madinah lebih unggul karena banyak para sahabat yang tinggal di sana, sehingga banyak periwayatan dan atsar. Oleh karena itu, penduduk Hijaz terkenal sebagai Ahli Atsar, karena banyaknya hadits pada mereka. Berbeda dengan negeri-negeri yang lain, apalagi negeri Irak, sehingga sedikit sekali atsar dan riwayat di sana. Kemudian ada sebagian orang bodoh di Irak yang membuat hadits-hadits palsu untuk memperbanyak riwayat di negeri mereka, sehingga sebagian ulama memperingatkan tentang hadits-hadits yang datang dari Irak, terutama dari Kufah.

Imam Syafi’i rahimahullah sempat berkata, “Setiap hadits yang datang dari Irak yang tidak memiliki asal dari Hijaz (Mekkah, Madinah, Yamamah, dan sekitarnya), maka jangan diterima. Aku hanyalah bermaksud menasihatimu.

Mis’ar pernah bertanya kepada Habib bin Abi Tsabit, “Penduduk manakah yang lebih tahu tentang Sunnah; apakah penduduk Hijaz atau Irak?” Ia menjawab, “Bahkan penduduk Hijaz.”

Thawus berkata, “Jika orang Irak menyampaikan seratus hadits, maka buanglah sembilan puluh sembilannya.”

Ibnul Mubarak berkata, “Hadits penduduk Madinah lebih shahih dan isnad mereka lebih dekat.”

Al Khathib berkata, “Jalur Sunnah yang lebih shahih adalah yang diriwayatkan oleh penduduk dua tanah suci; Mekkah dan Madinah, karena tadlis (pengelabuan) sangat sedikit pada mereka, berdusta atau memalsukan hadits merupakan sesuatu yang berat bagi mereka. Sedangkan penduduk Yaman memiliki riwayat–riwayat yang jayyid (bagus) dan jalur-jalur yang shahih, namun jumlahnya sedikit, dan rujukannya juga kepada penduduk Hijaz. Penduduk Basrah juga memiliki hadits-hadits yang shahih dengan sanad-sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh selain mereka, di samping mereka juga banyak meriwayatkan hadits. Penduduk Kufah juga sama seperti penduduk Basrah, namun riwayat mereka banyak rusak dan sedikit yang selamat dari cacat. Adapun hadits penduduk Syam kebanyakan mursal dan terputus, yang bersambung adalah yang dihubungkan oleh orang-orang tsiqah, itulah hadits shalih (baik), namun pada umumnya terkait dengan nasihat-nasihat.” (Tadribur Rawi 1/85-86, Maktabah Syamilah)

Oleh karena sedikitnya sedikitnya riwayat dan atsar pada penduduk Irak, maka para ulamanya banyak bersandar kepada ra’yu (pemikiran), sehingga penduduk Irak terkenal sebagai Ahli Ra’yu. Sedangkan mereka yang tinggal di Mekkah dan Madinah, maka fiqih mereka bersandar kepada nash, sehingga mereka dikenal sebagai Ahlul Atsar.

Mereka yang tinggal di Irak, karena hadits-hadits yang ada pada mereka sedikit dan tersebarnya hadits-hadits palsu, maka mereka berhati-hati dalam menerima riwayat, dan banyak ijtihad yang mereka keluarkan serta fatwa yang sesuai ra’yu (pendapat), sehingga terkenallah madrasah ini dengan madrasah ra’yu.

Ketika itu ada dua jalan yang ditempuh para fuqaha (Ahli Fiqih), yaitu:

Pertama, jalan Ahli Atsar yang terkenal di Hijaz.

Kedua, jalan Ahli Ra’yu yang terkenal di Irak, yakni di Kufah dan Baghdad.

Pada awalnya dua madrasah ini tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi, akan tetapi sangat disayangkan ketika Ahli Ra’yu tetap berpegang dengan Ra’yunya ketika ada atsar atau nash.

Ketika banyak manusia yang bersikap fanatik terhadap para ulama di negeri mereka dan mengikuti secara berlebihan meskipun bertentangan dengan hadits yang shahih, maka jadilah masalah ra’yu di kalangan ulama sebagai masalah yang tercela, karena jika seorang yang termasuk Ahli ra’yu berpegang dengan ra’yunya namun menyelisihi hadits yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka di sinilah letak tercelanya, sebagai fanatik dan taqlid buta. Oleh karena itu, di antara ulama ada yang menyebutkan sebagian pendapat para ulama Kufah menyelisihi beberapa hadits, misalnya dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah yang terdapat pembahasan tentang masalah-masalah dimana pendapat Abu Hanifah menyelisih beberapa hadits (tidak secara sengaja), demikian pula ada di antara ulama yang mengkritik tegas penduduk Kufah dan ra’yunya karena menyelisihi beberapa hadits, dimana maksudnya adalah bukan untuk merendahkan; bahkan untuk mengkritik orang-orang yang fanatik terhadap ra’yu padahal ada atsar atau riwayat.

Padahal bagi seorang muslim ketika telah sampai kepadanya sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia wajib mengikutinya dan meninggalkan semua pendapat yang menyelisihinya sebagaimana yang dinyatakan oleh para imam madzhab, dan jika tetap berpegang dengan pendapat manusia meninggalkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka hal itu merupakan sikap tidak beradab terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.  

Oleh karena itu, para ulama dari madrasah atsar mengkritik metode ra’yu yang berkembang di Kufah; bukan merendahkan ulama ra’yu, tetapi memperingatkan manusia agar tidak mengikuti pendapat-pendapat jika ada atsar atau riwayat yang menyelisihinya.

Perselisihan antara madrasah ra’yu dan atsar sampai pada batas seperti yang dijelaskan oleh Al Khaththabi (w. 388 H) berikut,

“Aku melihat Ahli Ilmu di zaman kita ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu: golongan ahli hadits dan atsar, dan golongan ahli fiqih dan nazhar (ra’yu). Padahal keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kebutuhan, serta tidak dapat dilepaskan untuk mencapai apa yang diharapkan dan diinginkan, karena hadits ibarat pondasi yang merupakan pokok, sedangkan fiqih ibarat bangunan yang merupakan cabangnya. Setiap bangunan yang tidak disiapkan kaidah dan pondasinya, maka akan roboh, dan setiap pondasi yang tidak ada bangunan dan isinya, maka seperti tempat sunyi dan sudah roboh.”

Al Khaththabi juga menerangkan dalam mukadimah Ma’alimus Sunan Syarh Sunan Abi Dawud, bahwa golongan Ahli hadits dan atsar dengan golongan Ahli fiqih berada dekat berdampingan, dimana sebagian mereka butuh kepada yang lain, tetapi mereka sebagai saudara yang saling menjauh, padahal kebenaran menghendaki mereka saling tolong-menolong dan menguatkan, tetapi kenyataannya tidak begitu.

Ahli hadits disibukkan oleh riwayat-riwayat, mengumpulkan jalur-jalur, mencari yang gharib dan yang syadz yang kebanyakan maudhu (palsu) atau maqlub (terbalik), mereka tidak memperhatikan matan, tidak memahami makna, tidak mengeluarkan kandungan dan fiqihnya, bahkan terkadang mereka mencela para ahli fiqih dan menganggapnya menyelisihi sunnah, namun mereka tidak menyadari keadaan para ahli fiqih yang mendapatkan ilmu (atsar) yang terbatas.

Sedangkan Ahli fiqih, maka kebanyakan mereka tidak berdalih dengan hadits kecuali sedikit, bahkan tidak mampu membedakan yang shahih dan yang cacat, serta tidak peduli dengan riwayat yang sampai kepada mereka jika ternyata sejalan dengan madzhab selain mereka, bahkan mereka menerima hadits dhaif atau yang terputus ketika hadits itu masyhur di kalangan mereka serta sering disebutkan tanpa meneliti lagi, padahal yang demikian adalah kekeliruan.

  1. Karakteristik Fiqih Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu

Ciri Fiqih Ahli Hadits adalah sangat perhatian kepada hadits dan atsar, lalu kepada qiyas. Mereka lebih mengutamakan hadits di atas qiyas, baik hadits itu ahad maupun masyhur, baik terkait masalah yang sering terjadi maupun tidak.

Ciri fiqih Ahli Ra’yu adalah perhatian terhadap hadits kurang, dan perhatian terhadap qiyas sangat kuat. Mereka mendahulukan qiyas daripada hadits yang diriwayatkan seorang dalam sebagian keadaan, seperti yang terkait masalah yang sering terjadi.

Adapun ciri fiqih madzhab Zhahiri adalah perhatian hanya kepada nash, menolak berhujjah dengan qiyas dan atsar para sahabat, serta beralih kepada istishab (penggandengan masalah kepada hukum asalnya) terhadap hal yang tidak ada nashnya.

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin Shalih Al Utsaimin), Muqaddimah fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil Islami (Dr. Amir bin Umar Bahjat),   https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.