بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Berikut pembahasan tentang keutamaan hari Jum’at, amalan pada hari tersebut, serta fatwa para ulama berkaitan dengannya, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Keutamaan Hari Jum’at

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ»

“Hari terbaik yang disinari matahari adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya, dan Kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum’at.” (HR. Muslim no. 854)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hari Jum’at adalah hari ibadah. Hari tersebut seperti bulan Ramadhan di tengah-tengah bulan yang lain, dan waktu mustajab di hari itu sama seperti malam Lailatul Qadr pada bulan Ramadhan.” (Zaadul Ma’aad 1/398).

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada hari Jum’at terdapat keutamaan yang besar. Ia adalah pemimpin hari, hari raya dalam sepekan, dan Allah memilih hari itu untuk umat ini, sedangkan umat-umat sebelumnya menyimpang darinya; orang-orang Yahudi memuliakan hari Sabtu dan orang-orang Nasrani memuliakan hari Ahad, sedangkan hari Jum’at adalah hari yang paling utama.” (Tashilul Ilmam 1/501)

Amalan pada Hari Jum’at

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ، ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ، فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الإِمَامُ أَنْصَتَ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى»

“Barang siapa yang mandi pada hari Jum’at, melakukan bersih-bersih semampunya (seperti memendekkan kumis, memotong kuku, dsb.) memakai minyak rambut atau memakai wewangian, lalu berangkat ke masjid dan tidak memisahkan dua orang yang sedang duduk, kemudian shalat semampunya, dan ketika imam datang ia pun diam, maka akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at itu dengan Jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa amalan yang dianjurkan pada hari Jum’at, yaitu:

  1. membaca surat Al Kahfi,
  2. mandi,
  3. bersiwak,
  4. memakai wewangian,
  5. datang lebih awal,
  6. mengenakan pakaian yang bagus yang ada padanya,
  7. berdoa, karena pada hari Jum’at terdapat waktu mustajab,
  8. memperbanyak bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Diringkas dari Liqa’ul Babil Maftuh, 105).

Fatwa Ulama Lajnah Da’imah (komite tetap kajian Islam dan Fatwa, Saudi Arabia) seputar shalat Jum’at

  1. Shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain. Tidak boleh meninggalkannya karena ada tugas resmi, studi, atau lainnya. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan berikan jalan keluar baginya. (Lajnah Da’imah 8/184).
  2. Barang siapa yang shalat Jum’at dengan keluarganya di rumah, maka mereka harus mengulanginya dengan melakukan shalat Zhuhur, dan tidak sah shalat Jum’atnya. (Lajnah Da’imah 8/196).
  3. Kaum laki-laki wajib shalat Jum’at bersama saudara mereka kaum muslimin di rumah-rumah Allah. Adapun kaum wanita tidak ada kewajiban melakukan shalat Jum’at, yang wajib bagi mereka adalah shalat Zhuhur. (Lajnah Da’imah 8/196).
  4. Tidak boleh berbicara dengan orang lain secara mutlak ketika khatib berkhutbah. (Lajnah Da’imah 8/201) Adapun khatib boleh berbicara ketika ada maslahat (Lajnah Da’imah 8/202).
  5. Boleh mengadakan shalat Jum’at meskipun jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, karena keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Wahai orang-orang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu mengingat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) (Lajnah Da’imah 8/215)

  1. Apabila khatib bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka yang mendengarnya ikut bershalawat tanpa mengeraskan suara. (Lajnah Da’imah 8/217)
  2. Barang siapa yang tertinggal satu rakaat shalat Jum’at dan mendapatkan satu rakaat saja, maka ia tambahkan satu rakaat lagi sehingga ia mendapatkan shalat Jum’at, karena telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan demikian. (Lajnah Da’imah 8/225)
  3. Termasuk sunnah, khatib mengucapkan salam kepada para jamaah ketika naik mimbar sebelum ia duduk. (Lajnah Da’imah 8/234).
  4. Pembicaraan seseorang dengan selain imam (khatib) saat khutbah Jum’at adalah haram.” (Lajnah Da’imah 8/240)
  5. Tidak boleh mendoakan orang yang bersin dan menjawab salam saat khatib berkhutbah menurut pendapat yang shahih di antara pendapat para ulama. (Lajnah Da’imah 8/242).
  6. Tidak ada shalat sunnah rawatib sebelum shalat Jum’at, akan tetapi disyariatkan melakukan shalat sunah semampunya sebelum imam datang. (Lajnah Da’imah 8/249).
  7. Disyariatkan dalam shalat Jum’at membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah setelah Al-Fatihah, atau surat Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun, atau surat Al-Jumu’ah dan Al-Ghasyiyah setelah Al-Fatihah. (Lajnah Da’imah 8/279).

Hukum Mengaminkan Doa Khathib

Menurut mayoritas Ahli Ilmu dari kalangan madzhab yang empat dan lainnya, bahwa disunahkan mengaminkan doa imam, namun secara sir (pelan) menurut ulama madzhab Maliki dan Hanbali, dan tanpa mengeraskan suara menurut ulama madzhab Syafi’i.

Penyusun kitab Mathalib Ulin Nuha Fi Syarhi Ghayatil Muntaha berkata, “Dan disunnahkan mendekat kepada imam serta menyimak khutbahnya agar ia memperoleh pelajaran, demikian pula bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara sir saat mendengarnya. Demikianlah yang dinyatakan Syaikh Taqiyyuddin. Termasuk pula disunahkan mengaminkan (secara sir) terhadap doa imam.”

Ulama madzhab Hanafi berkata, “Mengaminkan itu dianjurkan, namun secara sir, dan makruh dijaharkan.” Hal ini sebagaimana dalam kitab Hasyiyah Ash Shawi alasy Syarhil Kabir.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Fatawa Islamiyyah, “Ini bukan termasuk bid’ah, yakni mengaminkan doa khatib saat khutbah ketika ia mulai berdoa untuk kaum muslimin, karena dianjurkan mengaminkan doanya, tetapi tidak dengan suara jama’i dan suara keras, tetapi masing-masing mengaminkan sendiri-sendiri dan dengan suara rendah; dimana tidak ada kegaduhan dan kebisingan, bahkan masing-masing mengaminkan doa khatib dengan sir dan tidak bersama yang lain, wallahu a’lam.”

Catatan :

Perlu diketahui, bahwa tidak disyariatkan mengangkat kedua tangan baik bagi makmum maupun imam dalam shalat Jum’at kecuali dalam shalat istisqa. Anas radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat kedua tangan dalam khutbah.” Oleh karena itu, makmum tidak perlu mengangkat kedua tangan saat khathib berdoa pada hari Jum’at.

Dalam Shahih Muslim dari hadits Imarah bin Ru’aibah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Saat Bisyir bin Marwan melihat gubernur Kufah berada di atas mimbar sambil mengangkat kedua tangannya berdoa pada hari Jum’at, maka ia berkata, “Semoga Allah memperburuk kedua tangan ini. Semoga Allah memperburuk kedua tangan ini. Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di atas mimbar. Beliau ketika berdoa hanyalah menunjuk dengan telunjuknya ke langit.”

Adapun mengngkat kedua tangan dalam shalat istisqa, dimana imam dan makmum mengangkat kedua tangannya, maka itu sunnah.

Renungan

Di antara tanda keimanan dan taufiq yang diberikan kepada seorang mukmin adalah ketika ia memuliakan apa yang dimuliakan Allah. Di antaranya adalah dengan mempersiapkan diri untuk shalat Jum’at, baik dalam hal berpakaian, mengenakan wewangian, bersiwak, dan datang lebih awal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah), dan barang siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)

Berdoa pada Hari Jum’at

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«فِيهِ سَاعَةٌ، لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ»

“Pada hari Jum’at terdapat waktu yang jika seorang muslim berdiri dan berdoa meminta kepada Allah sesuatu bertepatan dengan waktu tersebut, maka Allah akan mengabulkannya.”

Beliau berisyarat tentang sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Sallam berkata, “Aku tahu waktu tersebut, yaitu setelah Ashar hingga tenggelam matahari.”

Thawus bin Kaisan apabila telah shalat Ashar pada hari Jum’at, menghadap kiblat dan tidak berbicara dengan seseorang sampai tenggelam matahari.

Mufadhdhal bin Fudhalah setelah shalat Ashar pada hari Jum’at menyendiri di pojok masjid dan terus berdoa hingga tenggelam matahari.

Sa’id bin Jubair ketika telah shalat Ashar pada hari Jum’at tidak berbicara dengan seseorang sampai tenggelam matahari karena sibuk berdoa.

Ash Shalt bin Bustham adalah seorang yang buta, lalu saudara-saudaranya mendoakannya pada waktu Ashar hari Jum’at. Dan sebelum matahari tenggelam, ia pun bersin kemudian dapat melihat kembali.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Waktu tersebut adalah akhir waktu setelah Ashar yang dimuliakan oleh semua pemeluk agama.” (Zaadul Ma’aad 1/384).

Shalat Ba’diyyah Jum’at

Abu Bakar dari Riyadh bertanya, “Mana yang lebih utama tentang shalat rawatib Jum’at; dua rakaat di rumah atau empat rakaat di masjid setelah shalat Jum’at?”

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Segala puji Allah Rabbul alamin, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabatnya. Telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat Jum’at, maka hendaknya ia shalat setelahnya empat rakaat.”Demikian pula telah shahih dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat di rumahnya. Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa setelah Jum’at seseorang shalat empat rakaat baik di rumah maupun di masjid dengan alasan karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih didahulukan daripada perbuatan Beliau. Ada pula yang berpendapat, bahwa shalat setelah Jumat adalah enam rakaat; empat rakaat berdasarkan sabda Beliau, dua rakaat berdasarkan praktek Beliau. Ada pula yang berpendapat, bahwa jika di rumah shalat dua rakaat, dan jika di masjid shalat empat rakaat mengikuti sabda Beliau. Namun yang rajih (kuat) menurutku adalah melakukan shalat empat rakaat baik di rumah atau di masjid berdasarkan keumuman sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallam.”

(Silsilah Fatawa Nur ‘alad Darb, kaset no. 356).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Maktabah Syamilah versi 3.45, channel telegram Fawaid wa DurarBekal Menuju Akhirat (Penulis), https://ar.islamway.net/fatwa/39269/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%A3%D9%85%D9%8A%D9%86-%D8%A3%D8%AB%D9%86%D8%A7%D8%A1-%D8%AE%D8%B7%D8%A8%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%B9%D8%A9 dll.