بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut pembahasan lanjutan tentang fiqih khutbah Jum'at, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Khutbah Jum'at

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa khutbah Jum'at hukumnya wajib. Mereka berdalih dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa Beliau senantiasa berkhutbah pada setiap pelaksanaan shalat Jumat. Mereka juga berdalih dengan sabda Beliau, “Shallu kamaa ra’aytumuni ushalliy” (artinya: shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat). Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah.” (QS. Al-Jumuah: 9)

Mereka menafsirkan ‘dzikrullah’ di ayat ini dengan khutbah, karena kandungan khutbah yang memuat dzikrullah.

Namun Imam Syaukani mengkritik pendapat yang menyatakan wajib dengan beberapa alasan berikut:

Bahwa sekedar perbuatan (praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah) tidak menunjukkan wajib. Sedangkan perintah shalat seperti yang dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya perintah melakukan sesuai cara Beliau, sedangkan khutbah bukan shalat. Adapun dzikrullah pada ayat di atas maksudnya adalah shalat Jumat.

Oleh karena itu, menurut Imam Syaukani bahwa yang tampak adalah pendapat Al Hasan Al Basri, Dawud Azh Zhahiri, dan Al Juwaini, bahwa khutbah Jum'at adalah sunnah.

Anjuran Imam mengucapkan salam saat menaiki Mimbar, pengumandangan Adzan ketika Imam telah duduk, dan hendaknya Makmum menghadap kepada Imam

Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shalallallahu alaihi wa sallam saat menaiki mimbar mengucapkan salam. (HR. Ibnu Majah, namun dalam isnadnya terdapat Ibnu Lahi’ah, dimana ia adalah seorang yang dha’if, namun hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani karena melihat riwayat-riwayat penguatnya).

Hadits di atas dalam riwayat Al Atsram dalam Sunannya dari Asy Sya’bi, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara mursal. Sedangkan dalam Marasil Atha dan lainnya disebutkan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat menaiki mimbar menghadapkan wajahnya kepada manusia, lalu berkata, “As Salamu alaikum.”

Asy Sya’bi berkata, “Abu Bakar dan Umar melakukan hal itu.”

Dari As Sa’ib bin Yazid radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Azan pada hari Jumat awalnya ketika imam sudah duduk di atas mimbar di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Tetapi di zaman Utsman ketika manusia semakin banyak, ditambahkan azan ketiga di Zaura (sebuah tempat di pasar Madinah), sedangkan muazin Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya seorang.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa’i, dan Abu Dawud)

Dalam sebuah riwayat para Ahli Hadits di atas disebutkan, “Pada masa kekhalifahan Utsman, ketika jumlah manusia semakin banyak, maka Utsman memerintahkan dikumandangkan azan ketiga pada hari Jumat, dan azan itu dikumandangkan di Zaura, hingga hal itu tetap berlaku.”

Dalam riwayat Ahmad dan Nasa’i disebutkan, “Bilal pernah mengumandangkan azan ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam duduk di atas mimbar dan melakukan iqamat saat Beliau turun (dari mimbar).”

Dari Addi bin Tsabit dari ayahnya dari kakeknya ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila berdiri di atas mimbar, maka para sahabat menghadapkan wajahnya kepada Beliau.” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini meskipun terdapat pembicaraan, hanyasaja Imam Tirmidzi berkata, “Demikianlah yang diamalkan menurut para Ahli Ilmu dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan lainnya. Mereka menganjurkan untuk menghadap ke imam saat ia berkhutbah.” Menurut Syaikh Al Albani, hadits tersebut shahih karena memiliki syahid-syahid (penguat dari jalan lain) yang marfu maupun yang mauquf sebagaimana ia takhrij dalam Ah Shahihah no. 2080. Di antara syahidnya adalah yang disebutkan dalam Shahihain dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk di atas mimbar, lalu kami duduk di sekitarnya.”)

Anjuran agar isi Khutbah memuat pujian kepada Allah Ta’ala, Shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Nasihat, dan pembacaan Al-Qur’an

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diberikan (kalimat) yang menghimpun kebaikan dan penutupnya –atau ia berkata: pembuka-pembuka kebaikan-; Beliau mengajarkan kepada kami khutbah dalam shalat dan khutbah ketika ada hajat. Khutbah ketika shalat adalah:

«التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ»

“Semua keagungan, ibadah (baik ibadah ucapan maupun perbuatan), semua yang baik adalah milik Allah. Salam atasmu wahai Nabi, serta rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”

Khutbah ketika ada hajat adalah:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ، وَنَسْتَعِينُهُ، وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan kepada-Nya, berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja; tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.

Kemudian engkau lanjutkan khutbahmu dengan tiga ayat dalam Al-Qur’an:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً}

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’: 1)

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً , يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً}

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,--Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 70-71)

أَمَّا بَعْدُ

Amma ba’du (adapun setelah itu):

(HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i, dan Abu Dawud, namun lafaz ini adalah lafaz Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa ada seorang yang berbicara kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang sesuatu, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ، فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ، فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْدُ»

“Segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan kepada-Nya, berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Amma ba’du.” (HR. Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَاليَدِ الجَذْمَاءِ

“Setiap khutbah yang tidak ada ucapan syahadat, maka seperti tangan yang kusta.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu khutbah (pada saat pelaksanaan shalat Jumat) dan melakukan duduk di antara dua khutbah, membacakan beberapa ayat, dan mengingatkan manusia.” (HR. Jamaah selain Bukhari dan Tirmidzi)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum'at dengan berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi sebagaimana yang mereka lakukan saat ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Beliau tidak berlama-lama dalam memberi nasihat pada hari Jumat; Beliau hanya menyampaikan kalimat yang ringan.” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al Albani)

Dari Samurah bin Jundab radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Allah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

«احْضُرُوا الذِّكْرَ، وَادْنُوا مِنَ الْإِمَامِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ لَا يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرَ فِي الْجَنَّةِ، وَإِنْ دَخَلَهَا»

“Datangilah khutbah, mendekatlah dengan imam, karena seseorang senantiasa saling menjauh (dari imam dan shaf pertama) sehingga dia ditempatkan di belakang di surga meskipun masuk.” (HR. Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani)

Dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man radhiyallahu 'anhuma ia berkata, “Aku tidak menerima surah ‘Qaaf wal Qur’anil Majid’ melainkan dari lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, karena Beliau biasa membacanya pada setiap hari Jumat di atas mimbar saat berkhutbah kepada manusia.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Abu Dawud)

Dari Ya’la bin Umayyah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca di atas mimbar ayat “Wa naadaw yaa maalik.” (QS. Az-Zukhruf: 77) (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca surah Tabaraka (Al Mulk) pada hari Jumat ketika berdiri (khutbah), Beliau mengingatkan kami terhadap peristiwa-peristiwa besar yang Allah datangkan.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Dalam kitab Ar Raudhah An Nadiyyah disebutkan, “Ketahuilah, bahwa khutbah yang masyru (sesuai syariat) adalah yang biasa dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berupa targhib (adanya dorongan) dan tarhib (adanya ancaman). Ini sebenarnya ruh suatu khutbah yang karenanya disyariatkan. Adapun pensyaratan adanya hamdalah, shalawat, atau membaca salah satu ayat Al-Qur’an, maka semua itu di luar dari tujuan utama disyariatkan khutbah. Ketika hal itu dilakukan dalam khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukan berarti bahwa hal itu hal yang mesti dan syarat yang harus dilakukan. Orang yang jujur tentu yakin, bahwa tujuan utama khutbah Jumat adalah memberi nasihat bukan kalimat sebelumnya seperti pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Menurut penulis, meskipun begitu, mengawali khutbah dengan hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apalagi dengan syahadat tentu lebih utama dan sepatutnya tidak ditinggalkan dalam khutbah Jumat.

Bersambung…

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraji’ : Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Tamamul Minnah (M. Nashiruddin Al Albani), Subulus Salam (Imam Ash Shan'ani), dll.