بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut ini pembahasan tentang Menyambut Bulan Sya'ban, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berpuasa, kami hampir mengatakan “Beliau tidak pernah berbuka”, dan ketika Beliau berbuka kami hampir mengatakan “Beliau tidak pernah puasa”, dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan, akupun tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa di bulan lain seperti halnya pada bulan Sya’ban.”

Dalam Subulus Salaam dijelaskan –secara makna-, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa puasa Beliau tidak khusus hanya bulan tertentu sedangkan bulan yang lain tidak. Beliau terkadang sering berpuasa dan terkadang sering berbuka, munkin hal ini Beliau lakukan melihat kondisi, jika tidak sibuk Beliau sering berpuasa dan ketika sibuk Beliau sering berbuka. Demikian pula terdapat dalil bahwa Beliau mengkhususkan Sya’ban dengan memperbanyak puasa dibanding bulan-bulan yang lain.

Ada yang berpendapat, bahwa hikmahnya adalah untuk memuliakan bulan Ramadhan, namun hadits yang menjelaskan tentang demikian adalah dha’if (lihat pada pembahasan hadits-hadits dha’if seputar Sya’ban no. 5).

Ada pula yang mengatakan, bahwa hikmah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban adalah karena pada bulan Sya’ban amal saleh diangkat sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid yang akan datang, dan Beliau ingin amalnya diangkat dalam keadaan Beliau berpuasa sebagaimana praktek Beliau melakukan puasa Senin dan Kamis, demikian juga sebagai latihan untuk berpuasa di bulan Ramadhan agar melakukannya tanpa susah payah karena sudah terbiasa sebelumnya.

Bulan Sya’ban adalah bulan yang mulia, ia adalah bulan yang banyak dilalaikan orang, karena berada di antara dua bulan yang agung yaitu Rajab dan Ramadhan, tidak ada yang memanfa’atkan bulan Sya’ban sebaik muingkin dengan amal shalih selain orang yang diberikan taufiq oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa (hampir) sebulan seperti yang engkau lakukan pada bulan Sya’ban?” Beliau bersabda, “Ia  adalah bulan yang dilalaikan orang (berada) antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan diangkatnya amalan kepada Rabbul ‘alamin. Aku ingin amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa.”  (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh Nasa’i, lihat Tamaamul Minnah / 412)

Ahli ilmu berpendapat, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil dianjurkannya mengisi waktu-watu yang biasa dilalaikan orang dengan ketaatan dan bahwa hal itu dicintai Allah ‘Azza wa Jalla.”

Apakah berpuasa pada bulan Sya’ban itu dari hari pertama bulan Sya’ban hingga akhirnya atau bagaimana?

Perlu diketahui, bahwa orang-orang yang mengamalkan puasa di bulan Sya’ban terbagi menjadi beberapa macam:

  • Orang yang sebelumnya tidak biasa berpuasa. ketika tiba bulan Sya’ban ia tetap tidak berpuasa, maka dalam hal ini ia telah meninggalkan keutamaan. Hal ini berdasarkan hadits Usamah bin Zaid di atas.
  • Orang yang sebelumnya sudah terbiasa berpuasa, misalnya ia biasa berpuasa pada Ayyaamul biidh (tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriah) atau biasa berpuasa pada hari Senin dan Kamis atau biasa puasa Nabi Dawud (sehari berpuasa-sehari berbuka), maka ketika tiba bulan Sya’ban hendaknya ia tetap melanjutkan puasanya itu sebagaima biasanya.
  • Orang yang sebelumnya tidak biasa berpuasa, ketika tiba pertengahan bulan Sya’ban atau menjelang Ramadhan barulah ia berpuasa, maka kepada orang ini kita katakan, “Hendaknya ia meninggalkan puasa tersebut” karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا

“Apabila Sya’ban sudah di pertengahan maka janganlah kamu berpuasa.” (Hasan, HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Ada yang berpendapat bahwa jika berpuasa setelah melewati pertengahan bulan Sya’ban, maka hukumnya makruh, dan menjadi haram apabila menjelang bulan Ramadhan sehari atau dua hari, berdasarkan hadits berikut:

لَا تُقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kamu mengawali Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa, maka boleh baginya berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  • Orang yang sebelumnya tidak biasa berpuasa, ketika menjelang bulan Ramadhan sehari atau dua hari barulah ia berpuasa karena khawatir Ramadhan sudah tiba, maka orang ini terkena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِيْ يُشَكُّ فِيْهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اْلقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم

“Barang siapa yang berpuasa pada hari yang masih meragukan, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul. Qaasim (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).” (Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, lihat Al Irwaa’: 961)

Acara Nishfu Sya’ban

Al Haafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaa’iful Ma’aarif berkata, “Sedangkan malam Nishfu Sya’ban, tabi’in yang tinggal di Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir, dan lainnya memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu. Dari merekalah, orang-orang mengambil tentang keutamaan dan pemuliaannya. Ada yang mengatakan, sesungguhnya sampai kepada mereka riwayat-riwayat Israiliyyat tentang hal tersebut. Ketika perkara itu masyhur di beberapa negeri, orang-orang berselisih terhadapnya. Di antara mereka ada yang menerimanya dan setuju dengan mereka dalam memuliakannya, seperti para ahli ibadah penduduk Basrah dan lainnya. Namun hal tersebut diingkari oleh ulama Hijaz, seperti ‘Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, dinukil pula oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari para ahli fiqh Madinah, dan pendapat ini merupakan pendapat kawan-kawan Imam Malik serta yang lain. Mereka berkata, “Itu semua bid’ah…dst.”

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Di sana tegas sekali menunjukkan bahwa acara malam Nishfu Sya’ban tidak sah sama sekali dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari para sahabatnya radhiyallahu 'anhum.”

Imam Abu Bakar At Turthusyi rahimahullah dalam kitabnya Al Hawaadits wal Bida’ berkata, “Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam ia berkata, “Kami tidak mendapatkan salah seorang di antara guru-guru kami dan ahli fiqh kami yang memperhatikan Nishfu Sya’ban. Mereka tidak pula memperhatikan hadits Makhul dan tidak menganggap bahwa malam tersebut memiliki kelebihan daripada yan lain.”

Pernah dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Zaid An Numairi menyatakan, “Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nishfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul qadr”, maka ia (Ibnu Abi Mulaikah) berkata, “Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul dia.” Zaid An Numairi yang menyatakan begitu adalah seorang tukang cerita..

Imam Syaukani rahimahullah berkata dalam Al Fawaa’id Al Majmuu’ah, “Hadits yang menyebutkan, “Wahai Ali! Barang siapa shalat seratus rakaat pada malam Nishfu Sya’ban, di mana pada setiap rakaat ia membaca Al-Fatihah dan Qulhuwalahu ahad sebanyak sepuluh kali, maka Allah akan memenuhi semua hajatnya.” Adalah maudhu’ (palsu), dan dalam lafaznya yang tegas yang menyebutkan pahala yang akan diperoleh pelakunya terdapat sesuatu  yang menunjukkan palsunya yang tidak perlu diragukan lagi bagi orang yang mengerti, dan para perawinya adalah majhul.”

Ia juga berkata dalam Al Mukhtashar, “Hadits shalat Nishfu Sya’ban adalah batil, sedangkan hadits Ibnu Hibban dari Ali yang menyebutkan, “Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka lakukanlah qiyamullailnya dan berpuasalah di siang harinya” adalah dha’if. Dalam Al La’aaliy ia menyebutkan, “Seratus rakaat pada malam Nishfu Sya’ban dengan membaca sepuluh kali surat Al-Ikhlas dan keutamaan yang disebutkan secara panjang tentangnya yang diriwayatkan oleh Dailami dan lainnya adalah maudhu’ (palsu), mayoritas perawinya pada ketiga jalan ini adalah majhul dan dha’if. Demikian pula yang menyebutkan dua belas rakaat dengan membaca Al-Ikhlas 30 kali adalah maudhu’, dan yang menyebutkan empat belas rakaat juga maudhu’ (palsu).”

Al Hafizh Al ‘Iraaqiy berkata, “Hadits shalat malam Nishfu Sya’ban adalah palsu mengatasnamakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dusta.”

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ berkata, “Shalat yang dikenal dengan nama shalat Raghaa’ib yang berjumlah dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya malam Jum’at pertama bulan Rajab, serta shalat malam Nishfu Sya’ban yang berjumlah seratus rakaat adalah bid’ah yang munkar, janganlah terpedaya hanya karena kedua shalat ini disebutkan dalam kitab Quutul Quluub dan Ihyaa’ Uluumiddin, juga jangan terpedaya karena disebutkannya hadits itu dalam kedua kitab tersebut, karena semua itu adalah batil. Demikian pula jangan terpedaya dengan sebagian imam yang masih samar tentang hukumnya, sehingga ia menyusun beberapa lembar tentang keutamaannya, sesungguhnya ia keliru dalam hal tersebut.”

Catatan Syaikh Ibnu Utsaimin tentang bulan Sya’ban

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Amma ba’du, wahai kaum muslimin! Kita berada di bulan Sya’ban, dan kita akan berbicara enam hal tentang bulan ini untuk menerangkan hal yang menjadi kewajiban kami. Kita meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia mengaruniakan kita dan kalian ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.

Pertama,  ini masalah pertama, yaitu tentang puasa Sya’ban. Apakah kita mengistimewakan bulan Sya’ban dengan berpuasa di banding bulan-bulan yang lain?

Jawab, “Ya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa di bulan itu kecuali beberapa hari saja. Oleh karena itu, termasuk Sunnah adalah seseorang memperbanyak puasa di bulan Sya’ban mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, berpuasa pada pertengahannya (15 Sya’ban), yakni mengkhususkan berpuasa pada peretengahan bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban). Memang ada beberapa hadits mengenainya, namun dhaif tidak sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diamalkan. Karena segala sesuatu yang tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh bagi seseorang beribadah kepada Allah dengannya. Dengan demikian, tidak dilakukan puasa Nishfu Sya’ban secara khusus, karena yang demikian tidak berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang tidak berasal dari Beliau adalah bid’ah.

Ketiga, keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Dalam hal ini ada pula hadits-hadits mengenainya namun dhaif; tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, malam Nishfu Sya’ban sama seperti malam Nishfu Rajab, Nishfu Rabi’ul Awwal, Nishfu Jumada, atau malam pertengahan bulan-bulan lainnya tidak ada keistimewaan tertentu, bahkan malam tersebut sama seperti malam-malam bulan lainnya, karena hadits-hadits berkenaan dengan itu dhaif.

Keempat, mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan qiyamullail. Ini termasuk bid’ah, karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau mengkhususkan malam itu dengan qiyamullail. Bahkan malam itu seperti malam-malam lainnya. Jika seseorang biasa melakukan qiyamullail maka silahkan melakukan qiyamullail pada malam itu seperti pada malam-malam lainnya. Namun jika ia tidak biasa melakukan qiyamullail, maka ia tidak perlu mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan qiyamullail, karena yang demikian tidak ada riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parah lagi, sebagian manusia mengkhususkan malam tersebut dengan melakukan shalat beberapa rakaat yang tidak ada riwayatnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jangan kita khususkan malam itu dengan qiyamullail.

Kelima, apakah takdir ditetapkan pada malam Nishfu Sya’ban? Yakni apakah pada malam itu ditetapkan takdir yang akan terjadi dalam setahun?

Jawab, “Tidak. Karena malam itu bukan malam Lailatul Qadr, sedangkan malam Lailatul Qadr di bulan Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman, “Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr,” yakni seseungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadr. “Wamaa adraaka maa lailatul qadr—Lailatul Qadr khairun min alfi syahr.” (Al-Qadr: 1-3)

Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Syahru Ramadhanaalladziy unzila fiihil Qur’an,” (Al-Baqarah: 185) artinya: Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan Al-Qur’an.

Oleh karena itu, malam Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadhan, karena pada malam itu Allah menurunkan Al-Qur’an, sedangkan Al-Qur’an turun pada bulan Ramadhan, sehingga Lailatul Qadr hanya di bulan Ramadhan; bukan pada bulan-bulan lainnya, termasuk bukan pula pada malam Nishfu Sya’ban, karena itu bukan malam Lailatul Qadr, dan tidak ditetapkan pada malam itu takdir yang akan terjadi dalam setahun. Bahkan malam tersebut adalah seperti malam lainnya.

Keenam, membuat makanan pada siang hari Nishfu Sya’ban. Sebagian manusia membuat makanan pada siang hari Nishfu Sya’ban untuk membagikannya kepada kaum fakir, sambil mengatakan, “Ini adalah makan malam ibu, ini makan malam ayah,” atau, “Ini adalah makan malam ibu dan ayah.” Ini termasuk bid’ah, karena tidak ada riwayat yang demikian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Inilah enam perkara yang saya bisa kumpulkan. Mungkin saja ada lagi masalah lain yang tidak saya ketahui, dan saya merasa wajib menerangkannya kepada kalian. Saya meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang menyebarkan Sunnah dan memperingatkan bid’ah, menjadikan kami dan kalian sebagai para penyampai petunjuk lagi mendapat petunjuk, dan menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang mengikuti dan mengambil petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dinukil dari situs Fatawal Ulama)

Hadits-hadits Dha’if seputar Sya’ban

Berikut ini beberapa hadits dha’if seputar Sya’ban yang beredar di masyarakat:

1- كَانَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ "اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ"

Beliau apabila memasuki bulan Rajab mengucapkan, “Ya Allah, berikanlah keberkahan untuk kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.” [HR Al Bazzar, Thabraniy dalam Al Awsath dan Baihaqi dalam Fadaa’ilul awqaat dari Anas radhiyallahu 'anhu. Al Haafizh mendha’ifkan hadits tersebut dalam kitabnya Tabyiinul ‘Ajab, ia berkata, “Dalam (sanadnya) terdapat Zaa’idah bin Abir Riqaad, Abu Hatim berkata tentangnya, “Ia menceritakan dari Ziyad An Numairiy dari Anas dengan membawakan hadits-hadits marfu’ yang munkar, tidak diketahui apakah dari dia sendiri atau dari Ziyad,” Bukhari berkata tentangnya, “Mungkar haditsnya”, Nasa’i dalam As Sunan mengatakan, “Saya tidak mengetahui siapa dia”, sedangkan Ibnu Hibban mengatakan, “Khabar(hadits)nya tidak bisa dipakai hujjah.”]

2- فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اْلقُرْآنَ عَلىَ سَائِرِ اْلأَذْكَارِ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلىَ سَائِرِ اْلأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ

“Keutamaan bulan Rajab atas bulan yang lain seperti keutamaan Al-Qur’an di atas semua dzikr. Keutamaan Sya’ban di atas semua bulan seperti keutamaan Muhammad -shallallahu 'alaihi wa sallam- di atas seluruh para nabi. Dan keutamaan Ramadhan atas bulan yang lain seperti keutamaan Allah di atas hamba-hamba-Nya.” [Al Haafizh rahimahullah menghukumi maudhu’ (palsu) hadits ini, ia katakan, “As Siqthiy (yakni si perawi) adalah musibahnya, ia terkenal memalsukan hadits dan merangkai sanad.”]

3- عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ-صلى الله عليه وسلم-لَمْ يَصُمْ بَعْدَ رَمَضَانَ إِلَّا رَجَبَ وَشَعْبَانَ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan puasa setelah Ramadhan selain Rajab dan Sya’ban.” [Al Haafizh menghukumi hadits tersebut mungkar dalam Tabyiinul ‘Ajab karena adanya Yusuf bin ‘Athiyyah, ia seorang yang dha’if jiddan (sangat dha’if)]

4- تَدْرُوْنَ لِمَ سُمِّيَ شَعْبَانُ ؛ لِأَنَّهُ يُتَشَعَّبُ فِيْهِ لِرَمَضَانَ خَيْرٌ كَثِيْرٌ ، وَإِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ ؛ لِأَنَّهُ يَرْمَضُ الذُّنُوْبَ أَيْ يُذِيْبُهَا مِنَ الْحَرِّ

“Tahukah kamu mengapa dinamakan Sya’ban? Karena kebaikan yang banyak dicabang-cabangkan untuk bulan Ramadhan, dan dinamai Ramadhan karena bulan itu memanaskan dosa yakni meleburnya karena panas.” [Imam As Suyuuthiy menghukumi maudhu’ (palsu) hadits ini, hadits ini diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dari Anas, dalam sanadnya terdapat Ziyad bin Maimun, ia mengaku berdusta.]

5- أَفْضَلُ الصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ رَمَضَانَ ، وَأَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) Sya’ban untuk memuliakan Ramadhan, dan sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” [HR. Tirmidzi, dan Baihaqi dalam Asy Syu’ab dari Anas radhiyallahu 'anhu, Tirmidzi berkata, “Gharib”, hadits tersebut didha’ifkan oleh As Suyuuthiy dan Al Albani. Dalam sanadnya terdapat Shadaqah bin Musa, Adz Dzahabiy berkata, “Shadaqah (ini) didha’ifkan oleh mereka (ahli hadits)”, di samping itu matannya juga mungkar karena menyelisihi hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu,

6- أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ....الحديث

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram.”

7- رَجَبُ شَهْرِ اللهِ، وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ، وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.” [Hadits ini adalah bathil dan palsu, Al Hafizh dalam Tabyiinul ‘Ajab mengatakan, “Diriwayatkan oleh Abu Bakar An Naqqasy seorang mufassir, sanadnya terangkai, ‘Alqamah (si perawi) tidak diketahui apakah ia mendengar dari Abu Sa’id, sedangkan Al Kasaa’iy yang disebutkan dalam sanad tersebut, tidak diketahui siapa dia? yang bermasalah di isnad ini adalah An Naqqasy. Abu Bakar An Naqqasy ini adalah dha’if, ditinggalkan haditsnya sebagaimana dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam Al Miizaan]

dan masih banyak lagi hadits-hadits dha’if lainnya seputar Sya’ban, lihat  Ahaadits Dha’iifah Waaridah fii Syahri Sya’ban oleh Abu Abdillah Al Mishri.

Marwan bin Musa

Maraaji’ : Ahaadits Sya’baaniyyah ghairu hshahiihah (‘Abbas Rahiim),Ahaaditts dha’iifah waaridah fi syahri Sya’baan (Abu ‘Abdilllah Al Misriy),Khutbah ‘an ahkam Shiyam Sya’banSubulus SalaamHukmul ihtifal bilailatin nishfi min Sya’ban (Syaikh bin Baz) dll.