Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:

Berikut lanjutan pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui sebelum belajar fiqih, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

      10. Gambaran Perkembangan Madzhab Fiqih

           a. Madzhab Hanafi dan para ulamanya

Fase Pertumbuhan dan Pembentukan madzhab (sampai 204 H)

Abu Hanifah

Pondasi

Abu Yusuf

Muhammad bin Al Hasan

Zufar bin Hudzail

Al Hasan bin Ziyad

Fase Perluasan, pengembangan, dan penyebaran (sampai tahun 710 H)

At Thahawi

Mukhtashar Ath Thahawi

As Sarkhasi

Al Mabsuth

Al Kasani

Bada’iush Shana’i

Al Karkhi

Mukhtashar Al Karkhi

Al Qaduri

Mukhtashar Al Qaduri

Al Mirghanani

Bidayatul Mubtadi

An Nasafi

Kanzud Daqa’iq

Fase menjadi kokoh

Ibnu Nujaim

Al Bahrur Ra’iq

Ibnu Abidin

Raddul Muhtar

 

      b. Madzhab Maliki dan para ulamanya

Fase kemunculan (sampai tahun 282 H)

Malik

Al Muwaththa

Ibnul Qasim

Al Mudawwanah

Asad bin Al Furat

 

Sihnun

 

Fase Perkembangan (sampai 616 H)

Ibnu Zaid

Ar Risalah

Al Qadhi Abdul Wahhab

At Talqin

Ibnu Abdil Bar

Al Kafi

Al Baji

Al Muntaqa

Ibnu Ruysd

Al Muqaddimat Al Mumahhadat

Al Qadhi Iyadh

Al Mustanbathah

Fase menjadi kokoh

Ibnul Hajib

Jami’ul Ummahat

Al Qarafi

Adz Dzakhirah

Khalil

Al Mukhtashar

Al Haththab

Mawahibul Jalil

Ad Dardir

Asy Syarhul Kabir

Ad Dasuqi

Al Hasyiyah

 

     c. Madzhab Syafi’i dan para ulamanya

Fase Penegakkan Dasar

Syafi’i

Al Umm

Buwaithi

Al Mukhtashar

Ar Rabi Al Muradi

 

Al Muzzani

Al Mukhtashar

Fase Pengembangan dan Penyebaran

Ibnu Suraij

 

Al Qaffal

Al Kabir Asy Syasyi

 

Ash Shaghir Al Marwazi (metode penduduk Khurasan)

Al Isfirayini

Metode penduduk Irak

Al Mawardi

Al Hawi

Al Juwaini

Nihayatul Mathlab

Asy Syirazi

Al Muhadzdzab

Al Ghazali

Al Wasith

Fase Penyempurnaan

Ar Rafi’i

Al Muharrar

An Nawawi

Minhajuth Thalibin

Fase Penyempurnaan ke-2

Ar Ramli

Nihayatul Muhtaj

Ibnu Hajar Al Haitami

Tuhfatul Muhtaj

      d. Madzhab Hanbali dan para ulamanya

Fase Penegakkan Dasar

(sampai 403 H)

Ahmad

Tidak mencatat madzhabnya

Pemilik kitab Al Masa’il

Abu Dawud, kedua anaknya, Al Kausaj

Al Khallal

Al Jami

Pelayan Al Khallal

Zadul Musafir

Al Kharqi

Al Mukhtashar

Al Hasan bin Hamid

Tahdzibul Ajwibah

Fase Perbaikan

(sampai 885 H)

Al Qadhi Abu Ya’la

Kitab Ar Riwayatain wal Wajhain

Ibnu Qudamah

Al Muqni

Ibnu Taimiyah

Al Muharrar

Ibnu Muflih

Al Furu

Al Mardawi

Al Inshaf

Fase menjadi kokoh

Al Hijawi

Al Iqna’

Ibnun Najjar

Al Muntaha

Mar’i Al Karmiy

Ghayatul Muntaha

Al Bahutiy

Kasysyaful Qina

 

      11. Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama

Mungkin seorang bertanya, “Bukankah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, dan Qiyas yang menjadi rujukan madzhab-madzhab yang disebutkan sebelumnya, lalu mengapa terjadi perbedaan madzhab?”

Jawab, “Ya. Hal itu, karena masalah fiqih itu terbagi dua:

Pertama, masalah fiqih yang jelas dalilnya, dimana hal ini wajib diikuti.

Kedua, masalah fiqih yang sifatnya ijtihadiyyah karena ketidaktegasan dalil, sehingga dibangun di atas dasar ijtihad dengan mengqiyaskan atau memperhatikan maslahat, dsb.

Masalah kedua inilah yang sering terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat), dan inilah maksud pernyataan ulama ‘Laa inkaara Fi Masa’ilil Khilaf’ (artinya: tidak berlaku inkar dalam masalah khilafiyyah).

Perlu diketahui, seorang ulama dalam memandang masalah melihat kepada beberapa sisi, yaitu:

       1.Melihat adanya dalil atau melihat shahih-tidaknya dalil.

Terkadang suatu hadits belum sampai kepada seorang ulama, atau seorang ulama memandang bahwa dalil itu tidak shahih, sehingga ia tidak berpegang dengannya.

Contoh yang pertama tentang hukum puasa Syawwal. Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan lainnya berpendapat sunnahnya puasa Syawwal berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ 

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari dan Nasa’i)

Namun Imam Malik mengatakan makruh. Menurut Ibnu Abdil Bar, Imam Malik berpendapat begitu karena belum sampai hadits ini kepadanya. Kalau hadits ini telah sampai kepadanya, tentu Beliau juga mengatakan sunnah.

Contoh yang kedua adalah hadits Fathimah binti Qais, ia pernah ditalaq oleh suaminya tiga kali talaq, lalu suaminya mengutus seseorang untuk mengirimkan kepadanya gandum sebagai nafkahnya selama masa 'iddah, namun Fathimah menolak untuk menerimanya, akhirnya keduanya mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa "Ia (Fathimah binti Qais) tidak berhak lagi nafkah dan tempat tinggal" yakni karena telah ditalaq tiga (talaq ba'in), di mana wanita yang ditalaq tiga tidak berhak nafkah dan tempat tinggal dari suaminya kecuali jika ia hamil (Lih. Qs. Ath Thalaq: 7).

Namun hukum ini tidak diketahui oleh Umar bin Khaththab, menurutnya bahwa wanita yang ditalaq tiga tetap mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, ia tidak berpegang dengan hadits Fathimah karena menurutnya Fathimah mungkin lupa, sampai-sampai Umar berkata, "Apakah kita akan meninggalkan firman Rabb kita hanya karena perkataan seorang wanita yang tidak kita ketahui apakah ia masih ingat atau sudah lupa!?".

Oleh karena itu, kita menyaksikan sebagian ulama tidak berpegang dengan suatu hadits karena ia masih ragu tentang  keshahihannya, termasuk di antaranya hadits tentang shalat Tasbih, sebagian ulama ada yang tidak menganjurkan shalat tasbih karena menilai haditsnya dhaif, wallahu a’lam.

      b. Melihat dilalah (yang ditunjukkan) oleh dalil.

Terkadang seorang ulama menyimpulkan dari suatu dalil satu kesimpulan yang berbeda dengan yang disimpulkan oleh ulama yang lain, karena maknanya mengandung beberapa makna atau kemungkinan. Ulama yang satu menafsiri demikian, sedangkan yang lain tidak menafsirkan demikian, atau karena ada yang memalingkan ke makna lain.

Contohnya adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan menaruh perlengkapan perang, Jibril datang dan memberitahukan untuk tidak menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda,

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

"Janganlah salah seorang di antara kamu shalat 'Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah."

Dalam memahami sabda Beliau tersebut, para sahabat berbeda pendapat. Sebagian sahabat berpendapat bahwa maksud Beliau adalah agar mereka segera menuju Bani Quraizhah, sehingga waktu 'Ashar tiba sedangkan mereka telah berada di Bani Quraizhah, sedangkan sahabat yang lain berpendapat bahwa mereka tidak boleh shalat 'Ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah. Akhirnya sahabat yang berpegang dengan pendapat pertama melakukan shalat 'Ashar pada waktunya, sedangkan sahabat yang berpegang dengan pendapat kedua, melakukannya setelah tiba di Bani Quraizhah padahal ketika itu waktu 'Ashar sudah lewat. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari salah seorang pun di antara mereka.

Namun hal ini tidaklah menunjukkan bahwa semuanya benar, karena kebenaran hanya satu.

Dan tidak diragukan lagi, bahwa yang benar adalah mereka yang shalat Ashar pada waktunya, karena nash tentang wajibnya shalat pada waktunya adalah muhkam (jelas), sedangkan nash di atas masih samar, sedangkan yang mutasyabih (samar) harus dibawa kepada yang muhkam (jelas).

      c. Melihat dalil itu tidak muhkam (masih belum jelas) atau mansukh (sudah dihapus).

Contohnya adalah pendapat Ibnu Mas'ud, yaitu bahwa ketika ruku' menurutnya disyari'atkan tathbiq (yakni meletakkan kedua telapak tangan dalam keadaan dihimpitkan jari-jarinya di antara kedua paha atau lutut). Memang di awal-awal Islam cara ruku' seperti itu, kemudian dimansukh. Oleh karena itu, Sa'ad bin Abi Waqqash ketika mendengarnya berkata, "Kami dahulu memang melakukan seperti itu, namun sekarang Beliau memerintahkan kami seperti ini." Yakni menaruh di atas lutut dengan menggenggamnya.

      d. Melihat selamat-tidaknya dalil tersebut dari anggapan adanya dalil yang menyelisih.

Contohnya adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang riba fadhl (adanya kelebihan dalam penukaran uang atau makanan yang sejenis), menurutnya tidak ada riba fadhl sehingga jika dilakukan tukar menukar pada barang-barang ribawi seperti kurma satu sha' (satu gantang) dengan kurma dua sha' secara langsung, maka tidak mengapa. Ia berdalih dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Laa ribaa illaa fin nasii'ah" (artinya "Tidak ada riba selain pada nasii'ah/hutang"). Namun para ulama setelah Ibnu Abbas berpandangan bahwa riba ada dua; riba nasii'ah dan riba fadhl berdasarkan hadits-hadits yang lain. Hadits yang disampaikan Ibnu Abbas dengan hadits-hadits lain yang melarang riba fadhl tidaklah bertentangan, karena sangat mungkin sekali dijama' (dipadukan), hadits yang membatasi hanya pada nasii'ah (kelebihan dalam pembayaran hutang) maksudnya adalah bahwa tidak ada riba yang besar selain dalam riba nasii'ah, sedangkan riba fadhl adalah riba yang ringan, meskipun kedua-duanya haram. Riba yang pertama adalah riba yang sesungguhnya, sedangkan riba fadhl merupakan wasilah (sarana) yang mengarah kepada riba nasii'ah.

Tetapi akhirnya Ibnu Abbas rujuk dari pendapatnya itu dan beristighfar setelah berdialog dengan Abu Sa'id (sebagaimana dalam riwayat Hakim).

Sebagian ulama sempat menyusun tentang sebab-sebab terjadinya khilaf di antara para ulama, di antaranya Al Bathliyusi dalam kitabnya ‘At Tanbih alal asbab allatiy awjabatil khilaf bainal muslimin fii aaraaihim wa madzaahibihim,’.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menulis tentang masalah ini dalam kitabnya ‘Raf’ul malam ‘anil aimmatil a’laam’, dimana beliau menyebutkan 9 sebab terjadinya perselisihan di antara ulama.

Imam Syathibi dalam ‘Al Muwafaqat’ juga menyebutkan sedikit tentang masalah ini.

Syaikh Waliyyullah Ad Dahlawi juga menyusun risalah berkaitan dengan masalah ini dengan judul ‘Asbaabu Ikhtilafi Fuqaha.’

Demikian pula Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyusun tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama dengan judul ‘Al Khilaf bainal Ulama.

Bersambung…

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin Shalih Al Utsaimin), Al Khilaf bainal Ulama (Syaikh Ibnu Utsaimin), Muqaddimah fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil Islami (Dr. Amir bin Umar Bahjat),   https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.