بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurahkepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:

Ibnul Qayyim dalam Fawaa’idul fawaa’id hal. 398 menjelaskan,

“Seorang hamba memiliki dua tempat untuk berhadapan dengan Allah:

  1. Ketika shalatnya.
  2. Ketika bertemu dengan-Nya pada hari kiamat.

Siapa saja yang memenuhi hak di tempat pertama, maka akan dimudahkan di tempat kedua. Sebaliknya, siapa saja yang meremehkan tempat pertama, ia tidak memenuhi haknya, maka ia harus siap menerima rintangan di tempat kedua, Allah berfirman,

Dan pada sebagian malam, sujudlah dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.-26-Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (terj. Al-Insan: 26-27).”

Keutamaan Qiyamullail di Bulan Ramadhan

Qiyamul lail adalah amalan sunat yang dianjurkan, ia termasuk ciri khas orang-orang yang bertakwa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

 “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air-15-Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.-16-Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.-17- Dan selalu memohon ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. (terjemah QS. Adz-Dzaariyaat: 15-18)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفاً يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَ بَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ اْلكَلاَمَ، وَ أَدَامَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di surga itu ada kamar-kamar yang terlihat luarnya dari dalam, dan dalamnya dari luar. Allah Ta’ala mempersiapkannya untuk orang yang memberikan makan, berbicara lembut, selalu berpuasa dan shalat malam ketika orang sedang tidur.” (Hadits hasan, Shahihul Jami’: 2123)

Lebih dianjurkan lagi qiyamullail pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maksud “karena iman” adalah ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, membenarkan janji-Nya serta membenarkan keutamaan qiyam Ramadhan dan besarnya pahala.”

Sedangkan maksud “mengharap pahala” adalah ia melakukan itu karena mengharapkan pahala, bukan karena riya’, bukan karena ikut-ikutan dsb.

Petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Melakukan Qiyamullail

Aisyah radhiyallahu 'anha pernah ditanya tentang shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, maka ia menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ ، وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعاً فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعاً فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً

“Beliau  shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menambahkan dari sebelas rak’at di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya; Beliau melakukan shalat 4 rak’at, janganlah kamu bertanya tentang bagus dan lamanya, lalu Beliau melakukan 4 rak’at, janganlah kamu bertanya tentang bagus dan lamanya, kemudian Beliau shalat 3 rak’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka Beliau menjawab,

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua rak’at-dua rak’at, jika salah seorang di antara kamu khawatir tiba waktu Subuh, maka ia kerjakan shalat satu rak’at untuk mengganjilkan shalatnya itu.” (HR. Bukhari)

Bacaan pada Qiyamullail

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberikan batasan minimal dan maksimal bacaan pada shalat malam, bacaan Beliau terkadang pendek dan terkadang panjang. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca pada setiap rak’at seukuran surat Al-Muzzammil (sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad shahih) dan terkadang seukuran 50 ayat, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى فِي لَيْلَةٍ بِمِائَةِ آيَةٍ لمَ ْيُكْتَبْ مِنَ اْلغَافِلِيْنَ

“Barang siapa yang shalat (malam) dengan 100 ayat, maka ia tidak akan dicatat termasuk orang-orang yang lalai.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

Bahkan Beliau pernah membaca As Sab’uth Thiwal (tujuh surat yang panjang) dalam semalaman. (sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Hakim, dan dishahihkan olehnya).

Namun Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam semalam, bahkan tidak ridha terhadap perbuatan itu (Lebih jelasnya lihatlah kitab Shifat Shalatin Nabi karya Syaikh Al Albani).

Jika seseorang shalat sendiri maka dipersilahkan memperpanjang shalat semaunya, demikian juga jika bersamanya ada orang yang suka memperpanjang shalatnya. Dan jika ia shalat mengimami orang banyak maka ia boleh memperpanjang shalatnya namun panjangnya tidak memberatkan ma’mum, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ ، فَإِنَّ مِنْهُمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ

“Apabila salah seorang di antara kamu mengimami orang banyak, maka ringankanlah, karena di antara mereka ada yang lemah, yang sakit dan yang tua. Namun apabila ia shalat untuk dirinya sendiri maka panjangkanlah semaunya.” (Muttafaq ‘alaih)

Disyari’atkannya Berjama’ah dalam Qiyamullail (Shalat Tarawih) di Bulan Ramadhan

Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat dengan Beliau, besoknya Beliau juga shalat, ternyata semakin banyak yang hadir, hari ketiga atau keempat orang-orang berkumpul (menunggu Beliau), namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, ketika Subuhnya Beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

“Aku telah melihat perbuatan yang kalian lakukan, sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk keluar selain karena kekhawatiranku akan diwajibkan shalat malam kepada kalian.”

Aisyah berkata, “Hal itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaq ‘alaih)

Tentang keutamaan shalat tarawih berjama’ah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya orang yang melakukan qiyamul lail bersama imam hingga selesai, maka akan dicatatkan untuknya qiyamul lail semalaman.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah, serta dishahihkan oleh pentahqiq Jaami’ul Ushuul 6/121)

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih dimulai dari setelah shalat Isya dan berakhir hingga terbit fajar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلىَ صَلَاةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Allah memberikan tambahan shalat kepadamu yaitu witir, maka lakukanlah antara shalat Isya dan terbit fajar.” (HR. Ahmad, hadits ini adalah shahih)

Cara Pelaksanaan Shalat Tarawih

Pelaksanaan shalat tarawih dengan witirnya boleh dilakukan dengan beberapa cara;

~ Dengan dua rakaa’at salam-dua raka’at salam dan berwitir satu raka’at (sebagaimana dalam riwayat Bukhari di atas). Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan segolongan kaum salaf, namun dengan adanya khilaf di antara mereka apakah yang demikian wajib atau sunat.

~ Dengan 4 raka’at salam - 4 raka’at salam (boleh adanya tasyahhud awwal pada setiap dua raka’atnya, boleh juga tidak) lalu witir tiga raka’at (telah disebutkan dalilnya). Imam Abu Hanifah berkata, “Jika kamu mau, kamu boleh kerjakan dua raka’at. Jika mau, empat raka’at. Jika mau, enam dan delapan, dan kamu tidak salam kecuali di akhirnya.” Namun yang utama dalam madzhabnya adalah melakukan 4 rak’at dengan sekali salam beralasan dengan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.

Sedangkan cara pelaksanaan shalat witir jika tiga raka'at ada dua cara:

  1. Dengan tanpa tasyahhud awal (langsung tiga raka’at) satu kali salam.
  2. Dengan dua rak’at salam, kemudian satu raka’at salam.

Hal ini berdasarkan adanya larangan menyamakan shalat witir dengan shalat Maghrib.

~ Bisa juga melakukan shalat sebanyak 9 raka’at dengan tasyahhud awwal di raka’at kedelapan dan tasyahud akhir di raka’at kesembilan kemudian salam, lalu ia lanjutkan dua raka’at sehingga jumlahnya menjadi sebelas raka’at (sebagaimana dalam hadits riwayat Nasa’i).

Sebelumnya perlu diketahui bahwa shalat witir bisa dilakukan satu raka’at, tiga raka’at, lima raka’at, tujuh raka’at atau sembilan raka’at.

Bila shalat witirnya lima raka’at caranya adalah dengan tanpa tasyahhud awal (langsung lima raka’at) satu kali salam (sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim).

Jika shalat witir dengan jumlah tujuh raka’at caranya adalah dengan tasyahhud awal di raka’at keenam dan tasyahhud akhir di raka’at ketujuh kemudian salam (sebagaimana dalam hadits riwayat Nasa’i).

Untuk lebih rincinya bisa dilihat kitab Bughyatul mutathawwi’  karya Dr. M. bin Umar bazmul.

Jumlah Shalat Tarawih

Sunnahnya shalat tarawih itu berjumlah 11 raka’at, berdasarkan hadits Aisyah di atas. Dalam Al Muwaththa’ juga disebutkan dari Muhammad bin Yusuf dari Saa’ib bin Yazid, “Bahwa Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk mengimami orang-orang dengan jumlah sebelas raka’at.”

As Saa’ib bin Yazid juga mengatakan, “Qaari’ (imam) ketika itu membaca 200-an ayat sampai kami bersandar dengan tongkat dan kami selesai hampir mendekati fajar.”

Tetapi kalaupun lebih dari sebelas raka’at maka tidak mengapa, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang qiyamullail, Beliau menjawab, “Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at, jika salah seorang di antara kamu khawatir tiba waktu Subuh, maka ia kerjakan shalat satu rak’at untuk mengganjilkan shalatnya itu.”, akan tetapi membatasi jumlah shalat sesuai yang disebutkan dalam As-Sunnah (yakni sebelas raka’at) dengan memperlambat dan memperpanjang shalatnya tentu lebih utama.

(dari penjelasan Syaikh M. bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Fushuul fish shiyaam wat taraawih waz zakaah)

Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan dan ukuran tertentu shalat malam, dan bahwa hukumnya sunat. Barang siapa yang mau, ia boleh memperlama berdirinya dan rak’at shalatnya sedikit, dan barang siapa yang mau, ia boleh memperbanyak ruku’ dan sujud.”

Bacaan dalam Shalat Witir yang Tiga Raka’at

Sunnahnya pada raka’at pertama setelah Al-Fatihah adalah surat Al-A’laa, raka’at kedua surat Al-Kaafiruun dan pada raka’at ketiga surat Al-Ikhlas, terkadang pada raka’at ketiga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggandengkan dengan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) setelah Al-Ikhlas (sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Setelah selesai shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca,

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ

“Maha Suci Allah; Raja, lagi Maha Qudus.” (sebanyak tiga kali)

dan pada ketiganya Beliau mengeraskan suaranya (sebagaimana dalam hadits riwayat Nasa’i, hadits ini shahih)

Di dalam riwayat Daruqutni ada tambahan,

رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ

“Tuhan Malaikat dan ruh (Jibril).”

Lebih baik lagi jika dilanjutkan dengan do’a berikut,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سُخْطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan perlindungan-Mu dari hukuman-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tak bisa menghitung pujian untuk-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu.” (HR. Abu Dawud, Al Irwaa’ 2/175)

Qunut pada Shalat Witir

Qunut pada shalat witir hukumnya sunat, dan dilakukan pada raka’at terakhir setelah selesai membaca surat sebelum ruku’, Alqamah menjelaskan Bahwa Ibnu Mas’ud dan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qunut witir sebelum ruku’.” (atsar shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

Dan tidak mengapa dilakukan setelah ruku’, karena Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu pernah ditanya oleh Humaid tentang qunut, apakah dilakukan sebelum ruku’ atau sesudahnya? Ia menjawab, “Kami melakukannya sebelum (ruku’), dan (pernah juga) sesudahnya.” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Muhammad bin Nashr, Al Hafizh dalam Al-Fath mengatakan, “Isnadnya kuat.”)

Dalam qunut dianjurkan mengangkat tangan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi tentang mengangkat tangannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam qunut nazilah. Setelah selesai qunut tidak disyari’atkan mengusap tangan ke muka. Imam Baihaqi berkata, “Sebaiknya tidak melakukan hal itu, serta (hendaknya) membatasi diri dengan yang dilakukan kaum salaf radhiyallahu 'anhum hanya mengangkat tangan tanpa perlu mengusap kedua tangan ke wajah dalam shalat.”

Menurut Imam Syafi’i qunut witir ini dimulai pada pertengahan bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan riwayat Muhammad bin Nashr bahwa ia bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang awal mula dilakukan qunut pada shalat witir, ia menjawab, “Umar bin Al Khaththab mengirim pasukan, lalu pasukan itu terjebak di suatu tempat, ia (Umar) mengkhawatirkan keadaan mereka, maka ketika pertengahan terakhir bulan Ramadhan, ia melakukan qunut mendo’akan mereka.

Lafaz Do’a Qunut

Lafaz do’a qunut adalah sbb,

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

“Ya Allah, Tunjukkanlah aku ke dalam golongan orang yang Engkau tunjuki, lindungilah aku ke dalam golongan yang Engkau lindungi, pimpinlah aku ke dalam golongan orang yang Engkau pimpin, lindungi aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan dan tidak ada yang memberikan ketetapan untuk-Mu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau lindungi, Maha suci Engkau dan Maha Tinggi.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)

Do’a ini dibaca pada qunut witir berdasarkan kata-kata Al Hasan bin ‘Ali yang meriwayatkan hadits tersebut“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang perlu aku baca pada shalat witir…dst”, tidak pada qunut Subuh, adapun qunut Subuh bukan karena nazilah maka hal itu adalah muhdats (diada-adakan), tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Utsman dan ‘Ali radhiyallahu 'anhum (sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Thaariq yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Sedangkan hadits “Maa zaala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yaqnutu fil fajri hattaa faaraqadd dunyaa” (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa qunut di waktu Subuh hingga meninggal dunia) di dalam sanadnya ada Abu Ja’far Ar Raaziy dia laisa bil qawiy (tidak kuat haditsnya), sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah.

Kekeliruan dalam Shalat Tarawih

Sering terjadi kekeliruan dalam shalat tarawih baik dilakukan oleh kaum pria maupun kaum wanita, di antaranya adalah:

  •  Keengganan mereka meluruskan dan merapatkan shaf.
  •  Shalat sendiri di belakang shaf, padahal shaf depannya masih ada yang kosong, kecuali bila memang shafnya sudah penuh.
  •  Tidak mau mengikuti imam, termasuk tidak mengikuti imam adalah musaabaqah (mendahului imam), muwaafaqah (bersamaan dengan imam) dan takhalluf (berlama-lama tidak segera mengikuti imam).

Contoh muwafaqah adalah ma’mum mengucapkan salam bersama imam, seharusnya ia mengucapkan salam setelah imam mengucapkan dua kali salam. Sedangkan contoh takhalluf adalah ma’mum masih saja sujud padahal imam sudah bangkit lama.

  •  Membawa anak-anak yang sulit diatur, karena hal ini akan mengganggu orang yang shalat.
  •  Ucapan “Shalluu sunnatat taraawiih…” setiap kali hendak melaksanakan shalat taraawih dan membaca bacaan tertentu antara masing-masing shalat.
  •  Keluarnya wanita dari rumah dengan memakai wewangian.
  •  Yang lebih parah lagi adalah masuk masjidnya wanita tanpa mengenakan jilbab syar’i, ini adalah perkara yang mungkar.

Marwan bin Musa

Maraaji’ :  Fiqhus Sunnah dan Al Wajiz, Qiyaam layaali Ramadhan (Manshur Syamsulhaq), Bughyatul mutathawwi’ (Dr. M. bin Umar Bazmul), Fushuul fish shiyaam wat taraawih waz zakaah (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Nisaa’ul muslimin fii shalaatit taraawih (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin), Ahkaam qiyamil lail (Syaikh Sulaiman Al ‘Ulwan) dll.