بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut pembahasan lanjutan tentang shalat berjama'ah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'aala menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Shalat berjama’ah adalah salah satu di antara syi’ar-syi’ar Islam yang agung. Tidak pantas bagi seorang muslim meremehkan masalah ini. Hukumnya menurut pendapat yang rajih adalah wajib bagi setiap laki-laki yang sudah baligh (dewasa) dan mampu melakukannya, di mana ia mendengar panggilan azan.

Dalil Wajibnya Shalat Berjama'ah

Banyak dalil (keterangan) dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Atsar (riwayat dari sahabat) yang menunjukkan bahwa hukumnya wajib. Di antaranya adalah:

Pertama, firman Allah di surat An-Nisaa’ ayat 102:

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.,,,dst”

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz mengatakan, “Allah Subhaanah (tetap) mewajibkan mengerjakan shalat dengan berjama’ah dalam kondisi perang, lalu bagaimana jika dalam kondisi damai? Kalau seandainya seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah, tentu orang-orang yang sedang berperang melawan musuh yang merasa terancam dengan serangan mereka lebih layak untuk diperbolehkan meninggalkan (shalat) berjama’ah. Karena tidak begitu, maka dapat diketahui bahwa shalat berjama’ah termasuk kewajiban yang sangat penting dan tidak boleh seseorang meninggalkannya.” (Disebutkan dalam risalah Beliau "Wujub adaa'ish shalaah fil jamaa'ah")

Kedua, firman Allah di surat Al-Baqarah ayat 43:

“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”

Pada ayat tersebut Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kita untuk ikut ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, dan hal ini tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakannya secara berjama’ah. Ayat ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah, karena perintah hukum asalnya wajib.

Ketiga, firman Allah di surat Al-Qalam ayat 42-43:

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, namun mereka tidak mampu - pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu diseru untuk bersujud, sedangkan mereka dalam keadaan sejahtera.”

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pada hari kiamat ketika manusia dipanggil untuk sujud di antara mereka ada yang tidak mampu sujud, sebabnya adalah karena mereka ketika di dunia mendengar seruan untuk sujud (azan), namun mereka tidak mau mendatanginya padahal mereka mampu mendatanginya.

Keempat, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberikan rukhshah (kelonggaran) untuk meninggalkan shalat berjama’ah kepada orang yang buta, padahal rumahnya jauh dari masjid saat ia meminta kelonggaran untuk shalat di rumah. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Ada seorang yang buta datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berkata, “Wahai Rasulullah! saya tidak memiliki penuntun yang menintun saya ke masjid". Ia meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar diberikan rukhshah untuk shalat di rumah, maka Beliau pun memberikan rukhshah kepadanya. Namun ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata,“Apakah kamu mendengar panggilan untuk shalat (azan)?” ia menjawab, “Ya”, maka Beliau bersabda, “Datangilah.”

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan:

عَنْ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي فَهَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي قَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ نَعَمْ قَالَ لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً

Dari Ibnu Ummi Maktum, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya seorang yang buta, tempat tinggal saya jauh dan saya memiliki penuntun namun tidak selalu menyertaiku, apakah saya mendapatkan rukhshah untuk shalat di rumah?” Beliau balik bertanya, “Apakah kamu mendengar azan?” Ia menjawab, “Ya”, maka Beliau bersabda, “Sesungguhnya saya tidak mendapatkan rukhshah untukmu.” (HR. Abu Dawud, Al AlBani dalam Shahih Sunan Abi Dawud berkata “Hasan shahih.”)

Dalam lafaz lain disebutkan,

“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya di Madinah banyak serangga dan binatang buas?’ Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kamu mendengar “Hayya ‘alash shlaah-hayya ‘alal falaah?" Maka datangilah.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al AlBani)

Berdasarkan hadits-hadits di atas bahwa orang yang meminta diberikan rukhshah untuk shalat di rumah memiliki beberapa ‘udzur, yaitu: dia seorang yang buta, rumahnya jauh dari masjid, banyak serangga dan binatang buas di jalan, tidak memiliki penuntun yang selalu menyertainya, sudah tua umurnya dan di perjalanannya banyak pepohonan. Tetapi Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tetap tidak memberikan rukhshah kepadanya untuk shalat di rumah, lalu bagaimana keadaan kita sekarang ini sehingga meninggalkan shalat berjama’ah?

Kelima, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sampai hendak memberikan sanksi berat kepada orang-orang yang selalu meninggalkan shalat berjama'ah. Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Subuh dan ‘Isya. Kalau seandainya mereka mengetahui (keutamaan) di dalamnya tentu mereka akan mendatanginya meskipun dalam keadaan merangkak. Sungguh, aku ingin menyuruh didirikan shalat, kemudian aku menyuruh seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku pergi dengan beberapa orang yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak hadir shalat (berjama’ah), kemudian aku bakar rumah mereka dengan api.”

Keenam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجَمَاعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

“Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan shalat berjama’ah atau Allah akan mengunci mati hati mereka sehingga mereka menjadi orang-orang yang lalai.”(HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al AlBani)

Ketujuh, Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Barang siapa yang ingin bertemu Allah nanti dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat ini di tempat dikumandangkannya. Karena Allah telah menetapkan untuk Nabi kalian jalan-jalan petunjuk, dan sesungguhnya shalat berjama’ah termasuk jalan-jalan petunjuk. Kalau sekiranya kalian shalat di rumah sebagaimana orang yang shalat di rumah ini tentu kalian telah meninggalkan Sunnah Nabi kalian. Jika kalian telah meninggalkan Sunnah Nabi kalian, tentu kalian akan tersesat. Padahal tidaklah ada seseorang yang berwudhu’ dan memperbagus wudhunya, kemudian ia pergi menuju salah satu masjid ini, kecuali Allah akan mencatat untuknya pada setiap langkahnya satu kebaikan, meninggikan derajatnya serta menghapuskan dosanya. Sungguh, kami memperhatikan bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah kecuali orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, padahal ada seorang yang dituntun oleh dua orang (untuk shalat berjama'ah) hingga ditegakkan dalam shaff.” (Riwayat Muslim)

Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu merngatakan, “Kami apabila kehilangan seseorang dalam shalat Isya dan Subuh (berjama’ah), maka kami berprasangka buruk terhadapnya.”

Kedelapan, Ibnul Qayyim di dalam Kitab Ash Shalaahnya menjelaskan bahwa para sahabat semuanya sepakat (ijma’) tentang wajibnya shalat berjama’ah.

Keutamaan Shalat Berjama'ah

Shalat berjama'ah memiliki banyak keutamaan, antara lain:

  • Lebih utama daripada shalat sendiri dengan 27 derajat.

صَلَاةُ أَحَدِكُمْ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ بِأَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ وَالْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ

“Shalatnya salah seorang di antara kamu dengan berjama’ah adalah melebihi shalat (sendiri) di pasar maupun di rumahnya dengan 20 derajat lebih. Hal itu, karena apabila di antara kamu berwudhu’, lalu memperbagus wudhunya, kemudian mendatangi masjid dengan tujuan untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah kecuali akan ditiinggikan derajatnya atau digugurkan dosanya. Para malaikat akan mendoakannya selama ia masih tetap di tempat shalat, di mana ia shalat di situ sambil mengatakan, “Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, sayangilah dia.” Selama dia belum berhadats dan tidak menyakiti (orang lain) di sana.” (HR. Bukhari)

Contoh menyakiti orang lain adalah ghibah (menggunjing orang lain) dan namimah (mengadu domba).

  • Allah akan menjaganya dari setan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

“Tidak ada tiga orang dalam sebuah kampung maupun padang sahara, lalu tidak ditegakkan shalat (berjama’ah) kecuali setan akan menguasai mereka. Maka tetaplah berjama’ah, karena srigala itu makan binatang yang menjauh.” (Hasan, HR. Abu Dawud)

  • Orang yang shalat Subuh berjama’ah dianggap seperti shalat semalam suntuk, sedangkan orang yang shalat ‘Isya berjama’ah seperti shalat selama separuh malam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اْلعِشَاءَ ِفي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ ِفي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلََهُ

“Barang siapa yang shalat ‘Isya berjama’ah, maka seakan-akan ia melakukan shalat selama separuh malam, dan barang siapa yang shalat Subuh berjama’ah maka seakan-akan ia shalat semalam suntuk.” (HR. Muslim).

  • Shalat berjama'ah di waktu Subuh disaksikan oleh para malaikat (lih. Al Isra': 78)
  • Dan keutamaan lainnya.

Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.

Marwan bin Musa

Maraaji’: Shalaatul jama’ah (Dr. Sa’id bin ‘Ali Al Qahthaani) dan Wujub shalaatil jamaa’ah (Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz).